Meskipun
kata “pramuka” dianggap sinonim dengan kata “pandu”, ia jelas tidak memiliki
sejarah perjuangan kemerdekaan. Sedangkan kata “pandu” punya sejarah tersebut.
Ia pernah diikutkan untuk berpartisipasi aktif, terutama secara idiil, dalam
merintis kemerdekaan, dalam mengobarkan kesadaran berbangsa dan bernegara,
dalam menggembleng semangat perjuangan, dalam menempa jiwa patriotik.
Gerakan Pramuka Gudep 01163-01164 Pangkalan SMPN 2 Garut |
Ketika rencana perubahan Kurikulum 2013
mulai digulirkan, hampir semua media masa menyebutkan bahwa pendidikan
kepramukaan menjadi ‘mata pelajaran’ wajib sejak Sekolah Dasar. Kontan saja,
hal tersebut menimbulkan reaksi dari kalangan aktivis pendidikan kepramukaan.
Namun setelah dilakukan sosialisasi dan uji publik, maka menjadi jelaslah bahwa
pendidikan kepramukaan masuk dalam ‘ekstra kurikuler’ wajib sejak Sekolah
Dasar. Dengan demikian, posisi pendidikan kepramukaan pada Kurikulum 2013
adalah: bukan mata pelajaran.
Sebenarnya kebijakan ini bukan merupakan hal yang baru, karena dari dulu,
pendidikan kepramukaan –terutama di
Sekolah Dasar sudah diwajibkan alias menjadi ekstra kurikuler wajib. Pada
dasarnya, pewajiban mengikuti pendidikan kepramukaan –meskipun dalam konteks sebagai ekstra kurikuler sekalipun sejatinya
sudah melanggar prinsip kesukarelaan yang menjadi metode pendidikan kepramukaan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 dan Anggaran Dasar
Gerakan Pramuka. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui perubahan
Kurikulum 2013 ini mengharapkan agar pendidikan kepramukaan dapat berperan
mengembangkan nilai-nilai positif seperti: cinta tanah air; suka menolong;
pengabdian; disiplin; dan jujur, serta siswa mampu berpartisipasi dalam permasalahan
kemasyarakatan. Namun upaya ini akan sia-sia jika tidak disiapkan secara
sungguh-sungguh agar pendidikan kepramukaan –yang menjadi ekstra kurikuler wajib benar-benar menjadi latihan,
menjadi wahana pembiasaan sikap dan perilaku anak dan remaja. Pembina harus
disiapkan agar tidak terjebak pada rutinitas dan terjebak pula menjadikan
pendidikan kepramukaan seperti pelajaran, yakni: melakukan proses pendidikan
kepramukaan seperti mengajar di kelas, bukan melakukan latihan perindukan
Siaga, latihan pasukan Penggalang, atau pun latihan Ambalan Penegak.
Masal
Pada
awal masa Orde Baru, karena dikhawatirkan akan ditunggangi oleh eks-PKI, maka
Gerakan Pramuka dititipkan di sekolah –sehingga
bermunculanlah Gugus Depan yang berpangkalan di sekolah sebagaimana kita kenal
sekarang ini. Dan hal ini, akhirnya menjadi gerakan yang sifatnya masif
bahkan siswa diwajibkan mengikuti kegiatan kepramukaan atau minimal menggunakan
seragam pramuka pada hari tertentu di sekolah. Padahal hakekatnya pendidikan
kepramukaan adalah pendidikan nonformal yang berbasis di masyarakat, bukan di
sekolah. Gugus Depan berbasis masyarakat adalah pergaulan teman sebaya yang
dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak sesuai dengan tahap perkembangannya di
bawah bimbingan orang dewasa atau pembina. Pe-massal-an pendidikan kepramukaan di sekolah, menyebabkan penerapan
sistem beregu dan sistem tanda kecakapan sebagai ‘roh utama’ pendidikan
kepramukaan menjadi sulit karena keterbatasan jumlah Pembina. Bagaimana mungkin
sistem beregu dan sistem tanda kecakapan dapat dijalankan oleh satu orang
Pembina yang menghadapi ratusan peserta didik karena siswa di sekolah
diwajibkan mengikuti pendidikan kepramukaan? Akhirnya pendekatan klasikal yang
paling mungkin diterapkan, yang pada ujungnya, latihan kepramukaan menjadi
‘pelajaran kepramukaan’.
Karena
itulah ketika revitalisasi Gerakan Pramuka dicanangkan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudoyono pada tahun 2006, yang pertama kali perlu dilakukan adalah
revitalisasi organisasi Gerakan Pramuka dengan mengembalikan Gugus Depan ke
masyarakat. Gugus Depan berbasis masyarakat akan lebih fleksibel dalam
menerapkan prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaan, hal mana ketika
Gugus Depan berada di sekolah, prinsip dasar kepramukaan dan metode kepramukaan
sebagai ciri utama pendidikan kepramukaan sudah tereliminasi sehingga
pendidikan kepramukaan kehilangan jati diri. Upaya mengembalikan pendidikan
kepramukaan ke Gugus Depan berbasis masyarakat, memerlukan kesiapan adanya
Pembina pramuka yang memiliki jiwa volunteer
di tengah masyarakat. Sementara ini, pengkaderan Pembina pramuka menjadi titik
lemah Gerakan Pramuka. Selama ini, pengkaderan Pembina pramuka lebih
berorientasi pada kuantitas, bukan kualitas. Pelatihan Pembina pramuka di
tingkat Cabang dan Daerah, belum mampu menciptakan kader Pembina pramuka yang
militan. Hal ini dapat dimengerti, karena proses pendidikan kepramukaan yang
dialami oleh calon Pembina pramuka juga bukanlah proses pendidikan kepramukaan
yang bermutu. Sebagian besar menjadi Pembina pramuka adalah bagian dari tugas
sebagai Pembina Kesiswaan atau diberi tugas dan tanggung jawab oleh Kepala
Sekolah, bukan panggilan jiwa. Karena itulah, sulit tercipta kader pembina yang
memiliki militansi sebagai Pembina pramuka. Namun demikian, tidak ada upaya
yang tidak mungkin dilakukan jika kita melakukan dengan kesungguhan. Karenanya,
pengkaderan Pembina pramuka yang militan –dalam
arti memahami betul ide dasar pendidikan kepramukaan berikut prinsip dasar
kepramukaan dan metode pendidikan kepramukaan serta bagaimana mengimplementasikannya
menjadi sangat penting dalam upaya mengembalikan Gugus Depan ke basis
masyarakat. Di sisi lain, hendaknya mulai disadari bahwa jumlah keanggotaan
yang besar bukanlah suatu hal yang terlalu dibanggakan jika organisasi tidak
mampu mengurusi anggotanya. Kondisi ini kontradiktif, karena secara kuantitas
jumlah anggota Gerakan Pramuka besar namun kualitas anggotanya rendah. Ketika
Gugus Depan berbasis di masyarakat maka keanggotaan tidak lagi bersifat masif
namun organisasi akan lebih mampu mengurusi anggota. Pembina akan lebih optimal
dan intensif melakukan proses pendidikan kepramukaan yang berkualitas
berdasarkan prinsip dasar kepramukaan dan metode pendidikan kepramukaan.
Ketika
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadikan pendidikan kepramukaan sebagai
salah satu kebijakan dalam perubahan kurikulum 2013, maka Kemendikbud harus
ikut memikul beban tanggungjawab dalam menyiapkan Pembina yang berkualitas.
Pembina yang mampu mengemas latihan kepramukaan atau latihan kepanduan, bukan
Pembina yang melaksanakan pelajaran kepramukaan. Dalam hal ini sudah barang
tentu, Kemendikbud harus melakukan koordinasi dengan Kwartir Nasional sebagai
organisasi yang menaungi Gugus Depan yang berpangkalan di sekolah. Jika tidak
dilakukan, harapan tinggi pemerintah terhadap peran pendidikan kepramukaan
dalam pengembangan watak dan budi pekerti anak dan remaja di sekolah, hanyalah
pepesan kosong belaka. Bentuk dukungan tidak sekedar mengalokasikan dalam
anggaran pemerintah (APBN/APBD), namun Kwartir Nasional Gerakan Pramuka perlu
didukung dalam upaya melakukan revitalisasi dengan mengkoordinasikan
pengambilan kebijakan dalam rangka meningkatkan kualitas implementasi latihan
kepramukaan di Gugus Depan yang berpangkalan di sekolah.
Semantik/Kosa-kata
Haji Agus Salim, Bapak Pandu Indonesia. |
Pramuka
adalah akronim dari nama “Praja Muda Karana”, yang berarti “rakyat muda yang
suka berkarya”. Akronim tersebut kebetulan sama dengan kata Sansekerta
“Pramuka” yang berarti: (yang) terdepan, pemimpin. Dengan kata lain, kata
“pramuka” bersinonim dengan kata “pandu”. Jadi hakikat dari gerakan pramuka
atau kepramukaan adalah tetap kepanduan, walaupun sebutan “pandu” tidak dipakai
lagi untuk menamakan gerakan kepanduan atau anggota kepanduan Indonesia.
Meskipun kata “pramuka” dianggap sinonim dengan kata “pandu”, ia jelas tidak
memiliki sejarah perjuangan kemerdekaan. Sedangkan kata “pandu” punya sejarah
tersebut. Ia pernah diikutkan untuk berpartisipasi aktif, terutama secara
idiil, dalam merintis kemerdekaan, dalam mengobarkan kesadaran berbangsa dan
bernegara, dalam menggembleng semangat perjuangan, dalam menempa jiwa
patriotik. Bukan kebetulan kalau kata “pandu” ditampilkan di dalam lagu
“Indonesia Raya” oleh penggubahnya, yaitu Wage Rudolf Supratman. Sebuah “kata”
tidak hanya mempunyai suatu “arti” tetapi juga mengandung “pesan” tertentu yang
mampu menggugah manusia, yang dapat mengaitkan perhatian atau imajinasi manusia
pada suatu ideal –bila tidak demikian,
untuk apa orang mencari-cari kata yang tepat untuk menamakan sesuatu.
Seorang patriot, pasti merupakan Pandu bagi bangsanya. Dalam pengertian bahasa
Indonesia, pemandu bukan sekadar penunjuk jalan yang benar. Seseorang yang
melaksanakan tugas kepanduan pada tingkat pertama dan terakhir adalah sekaligus
perintis jalan, pelindung, pembela, penyelamat dan pemimpin dari yang
dipanduinya, baik dalam arti harfiah maupun dalam arti kiasan. Bila demikian,
salah satu wahana kejiwaan –kalaupun
bukan spritiual atau metafisis, yang ampuh dan sudah lama ada pada kita
bagi pembinaan jiwa patriotisme adalah lagu kebangsaan Indonesia Raya. Di situ
jelas disebut ‘’…Di sanalah aku berdiri/
Jadi pandu ibuku…..”. Tidak ada satu
pun bangsa di dunia yang memiliki sarana kejiwaan yang sama dengan yang
dimiliki oleh Indonesia untuk keperluan pembinaan jiwa patriotisme ini. Dengan
kata lain –kecuali lagu kebangsaan Indonesia
Raya, tidak ada satu pun lagu kebangsaan lainnya yang mengandung ungkapan
yang sinonim dengan “pandu” (scout) dalam bahasa nasional masing-masing. Bahkan
kepada setiap pandu sejak dini perlu ditanamkan, bahwa: you may loose everything but your honour.
Kilas Balik
Bapak Pandu Dunia |
Tahun
1896, Baden-Powell (Robert Stephenson Smyth Baden-Powell, 1st Baron
Baden-Powell) ditugaskan ke daerah Matabeleland di Rhodesia Selatan –sekarang dikenal dengan nama Zimbabwe,
sebagai Chief of Staff di bawah Jenderal Frederick Carrington selama Perang
Matabele Kedua. Dan disanalah pertama kalinya ia bertemu –dengan orang yang nanti menjadi sahabat karibnya Frederick Russell
Burnham, tentara kelahiran Amerika Serikat yang menjabat sebagai kepala pasukan
pengintai Inggris. Keberadaannya di sana akan menjadi pengalaman yang sangat
penting, bukan hanya karena Baden-Powell berkesempatan memimpin misi sulit di
wilayah musuh, tetapi saat-saat itulah ia banyak mendapat inspirasi untuk
membuat sistem pendidikan kepanduan. Ia bergabung dengan tim pengintai
(mata-mata) di Lembah Matobo. Burnham mulai mengajari woodcraft kepada Baden-Powell, keahlian yang juga memberikan
inspirasi untuk menyusun program/ kurikulum dan kode kehormatan kepanduan.
Woodcraft adalah keahlian yang banyak dikenal dan dikuasai di Amerika, tetapi
tidak dikenal di Inggris. Keahlian itulah cikal bakal dari apa yang kini sering
disebut Keterampilan Kepramukaan.
Keduanya
menyadari bahwa kondisi alam dan peperangan di Afrika, jauh berbeda dengan di
Inggris. Maka mereka merencanakan program pelatihan bagi pasukan tentara
Inggris agar mampu beradaptasi. Program pelatihan itu diberikan pada anak-anak
muda yang di sebut Scout Troops,
isinya penuh dengan materi-materi tentang eksplorasi, trekking, kemping dan
meningkatkan kepercayaan diri.
Saat
itu juga merupakan kali pertama bagi Baden Powell mengenakan topi khasnya
Burnham (mirip topi koboi) sebagai pengenal –dan hingga kini masih digunakan oleh anggota kepanduan di seluruh dunia.
Selain itu, Baden-Powell juga menerima sangkakala (terompet) Kudu, peralatan dalam Perang Ndebele.
Terompet itu nantinya ditiup setiap pagi untuk membangunkan para peserta
Perkemahan Kepanduan Pertama di Kepulauan Brownsea.
Tiga
tahun kemudian, di Afrika Selatan selama Perang Boer II. Baden-Powell
ditempatkan di kota kecil bernama Mafeking dengan jumlah pasukan Boer yang jauh
lebih banyak dari pada di tempat sebelumnya. The Mafeking Cadet Corps adalah
sekelompok anak muda yang bertugas membawakan pesan untuk pasukan lain.
Meskipun mereka tidak berpengalaman dalam menghadapi musuh, tetapi mereka
berhasil melawan musuh serta mempertahankan kota (1899–1900), dan kejadian
inilah yang juga menjadi salah satu faktor yang mengilhami Baden-Powell dalam
membuat materi kepanduan. Setiap orang dalam pasukan itu menerima bedge penghargaan berbentuk jarum kompas
yang dikombinasikan dengan ujung anak panah. Bedge ini bentuknya mirip dengan fleur de lis, logo yang hingga kini
digunakan sebagai logo organisasi kepanduan di banyak negara di dunia.
Di
Inggris Raya, orang-orang membaca berita prestasi Baden-Powell dalam memimpin
Pasukan Mafeking sehingga di negara asalnya itu, ia menjadi “Pahlawan
Nasional”. Hal ini memberikan keuntungan, karena buku kecil yang ditulisnya “Aids to Scouting” menjadi terjual laris.
Sekembalinya ke Inggris, ia melihat bukunya telah populer dan banyak digunakan
para guru untuk mendidik muridnya, dan juga para pemuda yang aktif dalam
organisasi. Karena itulah, ia diminta untuk menulis ulang bukunya tersebut agar
mudah dipahami oleh anak muda, terutama untuk anggota Boys’ Brigade, sebuah orgaisasi kepemudaan yang besar dan bernuansa
militer. Baden-Powell mulai berpikir kemungkinan hal ini bisa berkembang jauh
lebih besar. Ia mulai mempelajari materi lain yang bisa menjadi bahan pelajaran
dalam kepanduan.
Scout Stone, Brownsea Island. |
Juli
1906, Ernest Thompson Seton mengirimi Baden-Powell salinan bukunya yang
berjudul The Birchbark Roll of the
Woodcraft Indians. Seton, adalah orang Kanada yang lahir di Inggris dan
tinggal di Amerika Serikat. Ia bertemu dengan Baden-Powell bulan Oktober 1906,
dan mereka saling berbagi ide tentang program pelatihan bagi pemuda. Tahun
1907, Baden-Powell menulis draft buku berjudul Boy Patrols. Pada tahun yang sama, untuk menguji idenya, ia
mengumpulkan 21 (atau 22 ?) pemuda dengan latar belakang bermacam-macam (yang
diundang dari beberapa sekolah khusus laki-laki di London, yakni: Poole, Parkstone, Hamworthy, Bournemouth, dan Winton Boys’ Brigade units) dan mengadakan perkemahan selama
seminggu di Brownsea Island, Poole Harbour, Dorset, Inggris. Metode yang diterapkan
dalam perkemahan itu adalah memberikan kesempatan pada para pemuda tersebut
untuk mengatur kelompok mereka sendiri dengan membentuk kelompok kecil dan
memilih salah satu anggota kelompok sebagai pemimpin.
Musim
panas 1907, Baden-Powell melakukan promo dan bedah buku barunya, “Scouting for Boys”. Ia tidak sekedar
menulis ulang buku “Aids to Scouting” yang lebih banyak materi kemiliterannya.
Di buku yang baru itu, aspek kemiliterannya diperkecil dan digantikan dengan
teknik-teknik non-militer (terutama survival)
seperti: pioneering dan penjelajahan. Ia juga memasukkan prinsip edukasi yang
inovatif, disebut Scout Method
(metode kepanduan). Ia juga berkreasi dengan membuat game-game menarik sebagai
sarana pendidikan mental.
Scouting for Boys awalnya diperkenalkan di Inggris pada Januari 1908 dalam 6
jilid. Pada tahun yang sama, buku tersebut dicetak dalam bentuk satu buku utuh.
Sampai saat ini, buku tersebut di peringkat keempat dalam daftar buku best seller dunia sepanjang masa.
Mulanya,
Baden-Powell diminta menjadi “pembina” organisasi The Boys’ Brigade, yang didirikan William A. Smith. Kemudian,
karena popularitasnya semakin meningkat serta tulisannya tentang
petualangan-petualangan di alam terbuka, banyak pemuda yang mulai membentuk
kelompok kepanduan dan Baden-Powell “kebanjiran order” untuk menjadi pembina
kelompok-kelompok itu. Sejak saat itulah Gerakan Kepanduan (Scout Movement) mulai berkembang dengan
pesat.
Baden
Powell menulis cita-citanya dalam buku petunjuknya sedemikian rupa sehingga
dapat dipakai, bukan saja oleh bangsa Inggris, tetapi juga oleh bangsa Amerika,
bangsa Asia, oleh tiap-tiap pemuda dari segala bangsa dengan tidak
membeda-bedakan kulit, agama dan bahasa. Semua negara tidak dipaksakan untuk
memakai petunjuk itu dalam kepanduannya. Ia tidak memberikan suatu cara yang
terikat oleh adat sesuatu tempat atau adat nasional, juga tidak ia membuat
aturan hidup yang dikutip dari suatu agama tertentu ataupun peraturan yang
bersangkutan dengan politik suatu partai. Ia hanya memberikan bentuk pada suatu
permainan yang bersemangat, yang mengobarkan rasa romantik pada tiap pemuda. Ia
memberi pekerjaan yang menarik hati dan yang memuaskan kesukaan tiap pemuda
untuk melakukan sesuatu dan membuktikan hasilnya.
Sifat-sifat
Pandu (Dasa Darma): 1. Pandu itu dapat dipercaya; 2. Pandu itu setia; 3. Pandu
itu wajib berjasa; 4. Pandu itu teman semua manusia; 5. Pandu itu ksatria; 6.
Pandu itu penyayang binatang; 7. Pandu itu menurut perintah; 8. Pandu itu
tersenyum dan bersiul dalam segala kesulitan; 9. Pandu itu hemat; 10. Pandu itu
suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan; serta 11. Pandu itu bukan orang
gila (pandir).
Begitulah
bunyinya Sifat-sifat pandu mula-mula dan sekarang pun masih demikian pula,
kecuali sedikit tambahan pada pasal 3 dan 4 dan pasal ke-10 ditambahkan setahun
kemudian. Juga tambahan dari Baden Powell pada pasal ke-11 yang tidak tertulis.
Sepucuk
surat dari seorang anak kecil yang diterima oleh Baden Powell berisi janji
untuk tidak akan minum-minuman keras atau merokok dan ingin menjadi orang yang
seberani Baden Powell, membangkitkan pikiran Baden Powell supaya pandu-pandupun
mengatakan janji yang khidmat pada waktu mereka dilantik sebagai pandu. Ingat,
Janji, bukan sumpah.
Janji
itu bunyinya: “Saya berjanji akan
bersungguh-sungguh: 1. Menetapi kewajibanku terhadap Tuhan dan Tanah Air; 2.
Menolong sesama hidup bila dapat; 3. Menetapi Sifat-sifat Pandu”.
Mula-mula
Baden Powell pernah menulis, bahwa uniform (seragam) itu tidak begitu perlu,
sebab yang perlu ialah Jiwa dan Berbuat. Kemudian ia menulis, "Untuk seorang anak, uniform itu adalah suatu
benda yang menarik perhatian dan bilamana pakaian itu pakaian seorang kelana
hutan, maka segeralah pikirannya disesuaikan dengan jiwa seorang peneratas
jalan: untuknya, semua itu adalah pahlawan. Uniform itu menolong mempererat
persaudaraan, sebab setelah diterima oleh semua kepanduan sebagai uniform
pandu, maka uniform itu menutupi tiap perbedaan tingkat dan bangsa."
Baden
Powell pernah menerima sepucuk surat kawat, di dalamnya disebut: bahwa lencana
(lambang) kepanduan itu adalah "mata
tombak perlambang perang dan pertumpahan darah." Kawat itu segera
dibalas oleh Baden Powell: "Lencana
Kepanduan itu adalah bunga bakung, perlambang Perdamaian dan Kesucian."
Adapun
pada zaman dulu, bunga bakung itu dipakai perlambang kerajaan oleh raja Karel
dari Napels. Ketika seorang pelaut bernama Flavio Gioja memperbaiki teknik
pedoman penentuan arah angin yang dapat dipakai di laut untuk kapal-kapal
dengan menggunakan perlambang kerajaan tersebut, maka untuk menghormati
rajanya, huruf T (Tramontana = Utara)
oleh Gioja dipakai bersama-sama dengan leli
perlambang rajanya itu. Sejak itulah, arah Utara dalam peta dan pedoman diberi
tanda leli. Yang menarik perhatian
Baden Powell ialah bahwa mata pedoman itu selalu menunjuk lurus ke atas, tidak
ke kiri dan tidak ke kanan. Ketiga mata leli itu mengingatkan janji pandu yang
tiga pasal. Di bawah leli pandu,
terdapat semboyan: Be Prepared
(perhatikan huruf pertamanya) jika dilihat baik-baik maka di bawahnya
bergantung seutas tali yang bersimpul, yang memperingatkan kepada setiap pandu
untuk berjasa setiap hari.
Padvinders
Dijaman
penjajahan Belanda, pada tahun 1912 didirikan Indische Padvinderij cabang Nederlandse
Padvinders Organisatie (NPO) oleh P John Smith atas anjuran perkumpulannya
di negeri Belanda, yang pada saat pecahnya Perang Dunia I memiliki kwartir
besar. Dalam waktu singkat berdirilah beberapa organisasi “Padvinders” bangsa
Belanda di Indonesia, yang akhirnya pada tahun 1914 dipersatukan dalam Nederlands Indische Padvinders Vereeniging
(NIPV). Padvinders adalah kosakata bahasa Belanda, padanan kata Boyscout. Pada
tanggal 4 September 1917 mereka berhasil mendirikan markas utama di Weltevreden.
Upacara pelantikan pengurus kepanduan Hindia Belanda pada tahun 1917 oleh istri
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Countess van Limburg Stirum – van Sminia.
Semboyanmya: “Karaktervorming! Broederschap! Lichamelijke ontwikkeling!
(Pembangunan Karakter, Persaudaraan, dan Pembangunan Fisik).
Gagasan
Baden Powell dalam buku Scouting for Boys, sangat menarik perhatian para
pemimpin bumi putera di dalam pergerakan nasional. Maka berdirilah
organisasi-organisasi kepanduan yang bertujuan membentuk manusia Indonesia yang
baik, sebagai putera/puteri Indonesia yang menjadi kader Pergerakan Nasional.
Pada tahun 1916 didirikan Javaanse
Padvinders Organisatie (JPO) atas inisiatif S.P. Mangkunegara VII di Solo,
sebagai Kepanduan Nasional Indonesia yang pertama diorganisasikan secara
teratur.
Sampai
tahun 1922, Gerakan Kepanduan Indonesia berkembang sangat subur sebagai
“onderbouw” organisasi politik atau kemasyarakatan, antara lain:
1.
Budi Oetomo mendirikan Nationale
Padvinderij;
2.
Padvinder Muhammadiyah didirikan
pada tahun 1918 oleh K.H Ahmad Dahlan yang pada tahun 1920 berganti nama
menjadi Hizbul Wathan (HW);
3.
Syarikat Islam mendirikan Syarikat
Islam Afdeling Padvinderij yang kemudian diganti menjadi Syarikat Islam
Afdeling Pandu dan lebih dikenal dengan SIAP; dan
4.
Taroena Kembang.
Mulai
tahun 1922, sejak para pelajar Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan
pelajar menaruh perhatiannya kepada kepanduan, maka bertambahlah jumlah
perkumpulan kepanduan Indonesia antara lain:
ü
Jong Java Padvinderij (JJP) tahun
1928 diganti nama menjadi Pandoe Kebangsaan;
ü
Nationale Padvinderijs Organisatie
(NPO) tahun 1923 di Bandung;
ü
Jong Indonesische Padvinderij
Organisatie (JIPO) tahun 1923 di Jakarta;
ü
Nationale Islamietishe Padvinderij
(NATIPIJ) didirikan oleh Jong Islamieten Bond;
ü
Indonesische Nationale Padvinderij
Organisatie (INPO), gabungan dari NPO dan JIPO didirikan oleh Pemoeda Indonesia
di Bandung tahun 1926;
ü
Pandoe Pemoeda Soematera (PPS);
ü
Pandoe Ansor (bagian dari Nahdlatoel
Oelama);
ü
Federasi dari Pandu Kebangsaan,
INPO, SIAP, NATIPIJ dan PPS pada tanggal 23 Mei 1928 membentuk PAPI yaitu
"Persaoedaraan Antara Pandoe Indonesia". Federasi ini tidak dapat
bertahan lama, karena niat adanya fusi, akibatnya pada 1930 berdirilah
Kepandoean Bangsa Indonesia (KBI) yang dirintis oleh tokoh dari Jong Java
Padvinders/Pandoe Kebangsaan (JJP/PK), INPO dan PPS (JJP-Jong Java
Padvinderij). PAPI kemudian berkembang menjadi Badan Poesat Persaoedaraan
Kepandoean Indonesia (BPPKI) pada bulan April 1938;
ü
Padvinders Organisatie Pasoendan
(POP);
ü
Pandoe Kesoeltanan (PK);
ü
Sinar Pandoe Kita (SPK);
ü
Kepandoean Rakyat Indonesia (KRI);
ü
Kepandoean Islam
Indonesia (KII);
ü
Islamitische Padvinders
Organisatie (IPO);
ü
Tri Darma (Kristen);
ü
Kepandoean Azas Katholik
Indonesia (KAKI); dan
ü
Kepandoean Masehi
Indonesia (KMI).
Jumlah
perkumpulan kepanduan Indonesia berkembang sangat banyak tetapi ikatan secara
organisatoris antara satu sama lainnya tidak ada. Pada fase ini, dunia
kepanduan Indonesia mengalami ‘perlombaan’ berdirinya kepanduan-kepanduan yang
beraneka warna corak dan sifatnya, maka kemudian timbullah hasrat untuk
bersatu.
Pandoe
Pemerintah
penjajah Hindia Belanda akhirnya melarang penggunaan kosakata padvinder untuk organisasi penduduk
bumiputera. Sampailah akhirnya Haji Agoes Salim mengusulkan kosakata ‘pandoe’ sebagai padanan kosakata
padvinder dan ‘kepandoean’ untuk padvinderij. Pada saat itu terasa sekali bahwa
kepanduan sangat bermanfaat bagi perjuangan bangsa yang sedang terjajah,
sampai-sampai pemerintah Hindia Belanda kuatir akan kemajuan bangsa yang
dijajahnya. Sumpah Pemuda yang dicetuskan oleh Kongres Pemuda tanggal 28
Oktober 1928, benar-benar menjiwai gerakan kepanduan nasional Indonesia untuk
bergerak lebih maju dalam rangka konsolidasi kekuatan nasional. Dengan
meningkatnya kesadaran kebangsaan Indonesia, maka timbullah tekad persatuan
antara organisasi-organisasi kepanduan nasional Indonesia. Atas kebijakan dan
perjuangan para penganjurnya, maka sebagai langkah pertama pada tahun 1929
didirikan semacam badan federasi “Persaoedaraan (persatoean) antara
Pandoe-Pandoe Indonesia disingkat PAPI”. Yang masuk menjadi anggotanya ialah: JJP,
INPO, NATIPIJ, PPS dan SIAP, sedangkan HW belum memberikan kepastiannya.
Sebagai pengurus pertama dipilih Mr. Sunarjo (INPO), Dr. Moewardi (JJP), dan
Ramelan (SIAP)
Badan
ini bermaksud :
a)
Mempererat persaudaraan antara anggota PAPI; dan
b)
Memudahkan kerjasama untuk mempertinggi nilai latihan kepanduan masing-masing.
Pusat
pimpinan PAPI berada di Jakarta, sedangkan di daerah-daerah, di mana terdapat
lebih dari satu kepanduan anggota PAPI, dibentuk semacam PAPI Daerah.
Dengan
terbentuknya PAPI, maka tercapailah fase pertama untuk menuju ke arah
persatuan. Sementara itu, rencana “panitia fusi perkumpulan pemuda” telah
disetujui oleh Jong Java dan Pemoeda Indonesia –dua perkumpulan yang terbesar di kalangan pemuda (Oktober 1928).
Panitia tersebut merencanakan untuk mendirikan perkumpulan baru dengan nama
“Indonesia Moeda”. Putusan tersebut mempercepat proses penggabungan pandu
kebangsaan menjadi satu kepanduan, yang lepas dari ikatan organisasi lain. Azas
kebangsaan menjadi pokok dasar kepanduan itu dengan tidak melupakan sifat
peraturan yang berlaku di kalangan kepanduan internasional, antara lain: sifat
universal dengan prinsip-prinsip dasar metodik kepanduan.
Pada
tanggal 13 September 1930 diresmikanlah berdirinya kepanduan baru ini dengan
nama “Kepandoean Bangsa Indonesia” disingkat KBI. Untuk memperlihatkan corak
haluannya, para KBI memakai setangan leher “merah-putih” dan berpanji serupa
itu juga.
Gerakan
Kepanduan Indonesia –seperti juga gerakan
lainnya dari Bangsa Indonesia, dicurigai dan dihalangi oleh pemerintah
kolonial Belanda. Larangan-larangan yang berupa perintah halus, maupun
terang-terangan dikenakan kepada “Kepanduan Nasional”. Pemimpinnya ada yang
ditangkap, dan pandu-pandu ditakut-takuti, banyak sekali rintangan-rintangan
yang dialami pada jaman penjajahan tetapi justru itulah maka gerakan nasional
tetap terpelihara hidupnya, sambil mencari jalan sendiri ke arah cita-cita
bangsa Indonesia.
Berkat
keteguhan dari para pemimpin, maka segala usaha untuk mematikan atau
membelokkan arah tujuan kepanduan Indonesia tidak berhasil. Sebaliknya
perhatian masyarakat Indonesia makin tertarik pada cara pendidikan kepanduan
ini. Untuk melanjutkan cita-cita persatuan yang telah dirintis oleh PAPI, maka
pada tanggal 30 April 1938 oleh KBI, SIAP, NITIPIJ dan HW diadakan konperensi
bersama, yang berhasil membentuk “Badan Poesat Persaoedaraan Kepandoean
Indonesia” (BPPKI). Sebagai langkah pertama untuk melaksanakan tujuannya, maka
BPPKI akan menyelenggarakan perkemahan umum secara besar-besaran “All Indonesian Jamboree”. Pada tanggal 11 Februari
1941 dalam konperensi di Solo, BPPKI antara lain menetapkan untuk mengadakan
perkemahan besar yang dinamakan “Perkemahan Kepandoean Indonesia Oemoem”
disingkat PERKINDO di Yogyakarta tanggal 19-23 Juli 1941.
Pada
permulaan bulan Maret 1942 bala tentara Jepang dengan cepat dapat menaklukan
Hindia Belanda dan menguasai seluruh daerahnya. Empat bulan kemudian oleh
Pemerintah Bala Tentara Jepang dikeluarkan larangan berdirinya segenap partai
dan organisasi rakyat Indonesia. Walaupun demikian, diusahakan sekuat tenaga
untuk mendirikan kembali organisasi kepanduan.
Pada
tanggal 6 Februari 1943, pandu-pandu dari macam-macam perkumpulan yang telah
dibubarkan berhasil mengadakan PERKINDO II di Jakarta. Tetapi ternyata, pemerintah
militer Jepang sudah mempunyai maksud tertentu. Gerakan Kepanduan Indonesia
tidak boleh dilangsungkan, dan sebagai gantinya anak-anak dan pemuda Indonesia
dimasukkan dalam gerakan “Keibodan dan Seinendan”.
Tidak
lama setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, berkobarlah api revolusi di seluruh
Tanah Air Indonesia. Seluruh rakyat, tua dan muda bergerak serentak dan
menghancurkan segala rintangan yang menghalangi atau menghambat kemerdekaan.
Pada saat-saat itu pula pandu-pandu Indonesia, puteri dan putera yang telah
tersebar dikalangan masyarakat, ikut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan
dan kedaulatan Republik Indonesia. Di dalam keadaan revolusi inilah dikalangan
pemimpin timbul cita-cita untuk menghidupkan kembali organisasi kepanduan
Indonesia. Tetapi bentuk dan sifatnya harus berlainan dengan kepanduan pada
jaman penjajahan dahulu, sesuai dengan kehendak masa dan tidak lagi terpecah
belah. Pandu-pandu Indonesia harus bersatu dalam tekad dan langkahnya untuk
memenuhi panggilan Ibu Pertiwi.
Sebulan
sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa tokoh kepanduan
berkumpul di Yogyakarta dan bersepakat untuk membentuk Panitia Kesatuan
Kepanduan Indonesia sebagai suatu panitia kerja. Pada tanggal 27-29 Desember
1945 panitia kerja mengadakan Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia yang
diselenggarakan di Solo, pada taggal 28 Desember 1945 kongres telah mengambil
keputusan dengan bulat untuk menjelmakan suatu organisasi Kepanduan Indonesia
baru, yang sifat dan wujudnya kesatuan dengan nama “Pandu Rakyat Indonesia”.
Dalam upacara pelantikan yang dipimpin oleh Dr. Moewardi, keluarlah “Janji
Ikatan Sakti” yang berbunyi :
a)
Melebur segenap perkumpulan
kepanduan Indonesia dan dijadikan satu organisasi kepanduan: Pandu Rakyat
Indonesia.
b)
Tidak akan menghidupkan lagi
kepanduan lama.
c)
Tanggal 28 Desember diakui sebagai
hari Pandu bagi seluruh Indonesia.
d)
Mengganti setangan leher yang
beraneka warnanya dengan warna “hitam”.
Pemerintah
RI mengakui Pandu Rakyat Indonesia sebagai satu-satunya organisasi kepanduan
yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
No.93/Bag. A, tertanggal 1 Februari 1947.
Setelah
berjalan setahun, maka akhir bulan Desember 1946 berlangsunglah kongres Pandu
Rakyat Indonesia ke-1 di Surakarta. Selama setahun, tidak begitu banyak
persoalan yang dihadapi oleh Pandu Rakyat Indonesia. Tindakan pucuk pimpinan
terutama ditujukan untuk memperkuat organisasi kedalam, mengingat suasana
revolusi sedang menghebat di seluruh Tanah Air Indonesia. Tahun 1947 adalah
tahun kelanjutan usaha Pengurus Besar dengan menghadapi banyak kesukaran,
karena Belanda mulai memperlihatkan keinginannya akan melenyapkan kemerdekaan
dan kedaulatan Republik Indonesia. Hal ini mencapai puncaknya setelah Belanda
terang-terangan mengobarkan perang kolonial mulai tanggal 21 Juli 1947. Dengan
adanya serbuan militer Belanda di daerah-daerah Republik Indonesia, maka
hubungan dengan cabang-cabang Pandu Rakyat Indonesia di daerah-daerah yang
diduduki Belanda menjadi terputus.
Pandu
Rakyat Indonesia mengadakan Kongres II di Yogyakarta pada tanggal 20-22 Januari
1950. Salah satu isi keputusannya adalah: Pandu Rakyat Indonesia bukan lagi
satu-satunya organisasi kepanduan di Indonesia, kepanduan harus memperhatikan
dan memberi kesempatan kepada golongan-golongan khusus agama untuk
menyelenggarakan kebutuhannya masing-masing. Pemerintah menetapkan hasil
keputusan kongres ini dengan Keputusan Menteri PP dan K nomor 2344/Kab.
tertanggal 6 September 1951. Sehingga peraturan sebelumnya, tidak berlaku lagi.
Pada tanggal 16 September 1951 berdirilah Ikatan Pandu Indonesia (IPINDO)
sebagai suatu federasi hasil dari konferensi wakil-wakil kepanduan yang
diadakan di Jakarta, dan pada tahun 1953 Ipindo berhasil menjadi anggota
kepanduan sedunia. Untuk mengurus segala soal Pandu Puteri, pada tanggal 22
Agustus 1949 dibentuk Kwartir Besar Pandu Puteri Darurat.
Pada
Dirgahayu RI ke-10 Ipindo menyelenggarakan Jambore Nasional, bertempat di
Ragunan, Pasar Minggu pada tanggal 10-20 Agustus 1955, Jakarta. Menjelang tahun
1961, gerakan kepanduan Indonesia telah terpecah menjadi lebih dari 100
organisasi kepanduan. Keadaan demikian dirasakan sangat melemahkan gerakan
kepanduan Indonesia, meskipun sebagian dari organisasi-organisasi itu terhimpun
di dalam tiga federasi, yaitu:
ü
IPINDO (Ikatan Pandu Indonesia);
ü
PAPPINDO (Persatuan Organisasi Pandu
Puteri Indonesia); dan
ü
PKPI (Perserikatan Kepanduan Puteri
Indonesia)
Mengalami
kelemahan itu, maka ketiga federasi kepanduan tersebut melebur dirinya menjadi
satu federasi menjadi nama: PERKINDO (Persatuan Kepanduan Indonesia). Akan
tetapi, hanya kira-kira 60 saja dari 100 lebih organisasi kepanduan itu yang
ikut terhimpun di dalam federasi Perkindo. Lagi pula, di dalam federasi itu
sebagian dari 60 organisasi Perkindo, terutama yang menjadi “onderbouw” dari
organisasi politik atau masyarakat, tetap berhadap-hadapan berlawanan satu sama
lain, sehingga tetap dirasakan kelemahan gerakan kepanduan Indonesia.
Melihat
kenyataan ini, oleh Perkindo dibentuk suatu panitia untuk memikirkan suatu
jalan keluar. Panitia itu menyimpulkan bahwa selain lemah karena
terpecah-pecah, gerakan kepanduan Indonesia itu lemah pula karena terpaku dalam
cengkraman gaya tradisional/konvensional dari kepanduan Inggris pembawaan dari
luar. Hal ini berakibat bahwa pendidikan yang diselenggarakan oleh gerakan
kepanduan Indonesia ketika itu, belum disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan
nasional Indonesia, sehingga pada waktu itu kurang mendapat respon dari
masyarakat Indonesia. Kepanduan hanya bergerak di kota-kota besar, dan
disitupun hanya terdapat pada lingkungan orang-orang yang sedikit
banyaknya sudah berpendidikan Barat.
Pada tanggal 27 Nopember 1958 di Ciloto,
Menteri PP&K Prof. Dr. Prijono mengadakan seminar dengan mengambil topik
“Penasionalan Kepanduan”. Hasil seminar menyatakan bahwa kepanduan di Indonesia
harus bersifat nasional dan harus berkepribadian Indonesia. Seminar
“Penasionalan Kepanduan” ini oleh para pandu dirasakan sebagai upaya kaum
komunis untuk menanamkan rasa permusuhannya kepada Baden-Powell yang
dikatakannya sebagai “Jenderal tentara Inggris yang imperialis, kolonialis,
kapitalis, dan mengidap pedofili”. Sebetulnya sejak semula gerakan kepanduan di
manapun di dunia ini bersifat nasional. Hal ini ditegaskan oleh resolusi
konperensi pandu antara bangsa di Kopenhagen, Agustus 1924 atau tigapuluhempat
(34) tahun sebelum Prof. Prijono menyelenggarakan seminar.
Bapak Pramuka Indonesia |
Pembubaran
pandu pada dasarnya merujuk pada Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, tanggal 3
Desember 1960 tentang rencana pembangunan Nasional Semesta Berencana. Dalam
ketetapan ini dapat ditemukan Pasal 330. C. yang menyatakan bahwa dasar
pendidikan di bidang kepanduan adalah Pancasila. Seterusnya penertiban tentang
kepanduan (Pasal 741) dan pendidikan kepanduan supaya diintensifkan dan
menyetujui rencana Pemerintah untuk mendirikan Pramuka (Pasal 349 Ayat 30).
Kemudian kepanduan supaya dibebaskan dari sisa-sisa Lord Baden Powellisme
(Lampiran C Ayat 8). Ketetapan itu memberi kewajiban agar Pemerintah
melaksanakannya. Karena itulah Presiden/Mandataris MPRS pada 9 Maret 1961
mengumpulkan tokoh-tokoh dan pemimpin gerakan kepanduan Indonesia, bertempat di
Istana Negara. Hari Kamis malam itulah Presiden mengungkapkan bahwa kepanduan
yang ada harus diperbaharui, metode dan aktivitas pendidikan harus diganti,
seluruh organisasi kepanduan yang ada dilebur menjadi satu yang disebut
Pramuka. Presiden juga menunjuk panitia yang terdiri atas Sri Sultan Hamengku
Buwono IX, Menteri P dan K Prof. Prijono, Menteri Pertanian Dr.A. Azis Saleh
dan Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa, Achmadi.
Panitia ini tentulah perlu sesuatu pengesahan. Dan kemudian terbitlah Keputusan
Presiden RI No.112 Tahun 1961 tanggal 5 April 1961, tentang Panitia Pembantu
Pelaksana Pembentukan Gerakan Pramuka dengan susunan keanggotaan seperti yang
disebut oleh Presiden pada tanggal 9 Maret 1961. Ada perbedaan sebutan atau
tugas panitia antara pidato Presiden dengan Keputusan Presiden itu. Masih dalam
bulan April itu juga, keluarlah Keputusan Presiden RI Nomor 121 Tahun 1961
tanggal 11 April 1961 tentang Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka. Anggota
Panitia ini terdiri atas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prof. Prijono, Dr. A.
Azis Saleh, Achmadi dan Muljadi Djojo Martono (Menteri Sosial). Panitia inilah
yang kemudian mengolah Anggaran Dasar Gerakan Pramuka, sebagai Lampiran
Keputusan Presiden R.I Nomor 238 Tahun 1961, tanggal 20 Mei 1961 tentang
Gerakan Pramuka.
Presiden
Soekarno, menyampaikan pidato agar pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI
Gerakan Pramuka telah ada dan dikenal oleh masyarakat, Kamis (9 Maret 1961) yang dikenal
kemudian sebagai pidato pembubaran kepanduan atau Hari Tunas Gerakan Pramuka. Presiden menyatakan hal itu dihadapan para tokoh dan
pemimpin gerakan kepanduan Indonesia, bertempat di Istana Negara. Bung Karno,
kental dengan ide “pionir”. Nilai-nilai idealisme kepanduan
Baden Powell akan dikikis habis, karena berasal dari negara “nekolim”.
Dalam
pidato Bung Karno ini, antara lain:
“There must be something wrong didalam
kepanduan Indonesia. Mana pandu kita yang tahu hal pertanian beras, padi,
jagung. Rakyat menghendaki supaya kita ini
betul-betul hidup nanti di dalam satu masyarakat yang adil dan makmur,
satu masyarakat yang merdeka, tanpa “exploitation de l’homme par l’homme”, satu
masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang sosialis Indonesia. Tapi pandu-pandu kita kebanyakan dari pandu-pandu kita
ini didik ya biasalah …. Touwknopen, bisa mengikat tali, bisa berkemah, bisa
menjadi – kata orang Belanda – woudlopers … ho bisa menyusur jalan hutan … o.
Kalau hal woudloper, kita ini sebelum ada kepanduan kita ini memang dari dahulu
sudah woudloper saudara saudara. Woudloper artinya ini saya ahli berjalan di
hutan-hutan. Sebaliknya aku bisa memberitahu kepada saudara-saudara kekagumanku
kalau melihat peri-kehidupan organisasi pemuda di luar negeri.
Saya bukan
orang komunis, tetapi saya sering mendatangi negara-negara yang dinamakan
negara-negara komunis …. wah….kagum kalau saya melihat.
Pernah saya
datang misalnya di dalam rumah pemuda pemudi di Svelotsk atau di Shanghai atau
di paling akhir ini di Sofia …. kagum-kagum.
Saya sendiri
saudara-saudara melihat orangtua minta anaknya keluar dari kepanduan, karena ia
tidak puas. Pandu-pandu sendiri sudah masuk minta keluar lagi, karena tidak
puas. Terjadi pula dengan anakku sendiri…. Anakku sendiri dahulu saya suruh
masuk kepanduan, yang mereka giat di kepanduan 6 bulan, kemudian keluar. Kena
apa?...Pak, apa itu kepanduan itu, nggak bisa tahu belajar apa-apa. Ternyata 60
organisasi itu tidak benar, artinya masak kita satu bangsa yang menghadapi
amanat penderitaan rakyat mempunyai 60 jumlah organisasi kepanduan. Ini harus di-retool.
Harus di-retool, dijadikan satu organisasi saja dan di dalam satu organisasi
ini maka diberi isi yang lain daripada yang dahulu. Bukan sekedar touwknopen,
bisa apa itu bahasa Indonesianya – mbundelken tali dan melepaskan tali lagi,
bukan sekedar bisa yell bukan sekedar saja bisa woudloper tidak …Saya
menghendaki agar supaya semua pemuda pemudi Indonesia dididik agar supaya nanti
bisa menjadi kader daripada pembangunan baik pembangunan politik maupun
pembangunan sosial ekonomis, yaitu pembangunan pelaksanaan daripada amanat
penderitaan rakyat.
Enampuluh ganti, robah menjadi satu.
Nanti jikalau sudah dilebur
kepanduan-kepanduan ini hanya ada satu; di luar yang satu ini tidak boleh, di
larang. Yang terang-terangan pandu dilarang, di luar yang satu itu, yang
gecamoufleerd – pura-pura pandu atau bukan pandu tetapi sebetulnya gerakan
sedemikian, pun akan saya larang. Ini camkan, saudara-saudara. Tidak boleh ada
sesuatu organisasi pandu di luar yang satu ini, tidak boleh ada sesuatu
organisasi – ya nanti barangkali namanya dikatakan organisasi pemuda, yang
sebenarnya adalah camouflage daripada kepanduan di luar ini”.
Pihak
komunis hendak mempergunakan kelemahan gerakan kepanduan Indonesia seperti
tersebut di atas, sebagai alasan untuk memaksa gerakan kepanduan Indonesia
menjadi gerakan pionir muda sebagaimana terdapat di negara-negara komunis. Akan
tetapi kekuatan-kekuatan Pancasila di dalam Perkindo menentangnya, dan dengan
bantuan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda perjuangan mereka menghasilkan Keppres
RI. No. 238 tahun 1961 yang pada tanggal 20 Mei 1961 ditandatangani oleh Ir.
Djuanda sebagai Pejabat Republik Indonesia. Tanggal 20 Mei 1961 inilah kemudian
dikenal sebagai Hari Permulaan Tahun Kerja. Dengan dikeluarkannya Keppres RI.
No. 238 itu, maka Perkindo berhasil untuk mempersatukan gerakan kepanduan
Indonesia seluruhnya, dengan nama: Gerakan Pendidikan Kepanduan PRAJA MUDA
KARANA (PRAMUKA). Semua organisasi kepanduan Indonesia, kecuali yang
diselenggarakan oleh pihak komunis, melebur diri ke dalam Gerakan Pramuka. Di
dalam Keppres tersebut ditetapkan bahwa di seluruh wilayah Republik Indonesia
perkumpulan Gerakan Pramuka adalah satu-satunya badan yang diperbolehkan
menyelenggarakan pendidikan kepanduan.
Pernyataan
para wakil organisasi kepanduan di Indonesia yang dengan ikhlas meleburkan diri
ke dalam organisasi Gerakan Pramuka, dilakukan di Istana Olahraga Senayan pada
tanggal 30 Juli 1961. Peristiwa ini kemudian disebut sebagai Hari Ikrar Gerakan
Pramuka.
Penyerahan Panji Pramuka kepada Sri Sultan HB IX |
Pada
tanggal 14 Agustus 1961, peresmian Pramuka oleh Presiden Soekarno. Uniform
(seragam) kebanggaan Pandu Rakyat Indonesia "dilucuti", diganti
dengan seragam Pramuka mirip pionir di Rusia dan Korea Utara dengan kemeja
putih - celana panjang krem, topi kopiah hitam, duk putih dengan garis merah
melingkar, pin tunas kelapa tanpa ada atribut apapun. Pelantikan Majelis
Pimpinan Nasional (Mapinas), Kwartir Nasional (Kwarnas) dan Kwartir Nasional
Harian (Kwarnari) di Istana Negara, diikuti defile Pramuka untuk diperkenalkan
kepada masyarakat yang didahului dengan penganugerahan Panji-Panji Gerakan
Pramuka, dan kesemuanya ini terjadi pada tanggal pada tanggal 14 Agustus 1961.
Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Hari Pramuka.
Pada tanggal 7 Agustus 1963, Presiden
Soekarno menyatakan dalam pidatonya yang berjudul Panca Guna Pramuka: “Gerakan Pramuka adalah gerakan yang baru,
organisasi baru, yang disyahkan dengan Surat Keputusan Presiden No.238 Tahun
1961 dengan tujuan, corak, tugas, fungsi dan bekerja yang baru. Bukan merupakan
lanjutan dari salah satu organisasi kepanduan yang ada sebelum Gerakan Pramuka.
Merupakan gerakan yang mengembangkan kepribadian nasional bukan sekali-kali
merupakan jiplakan dari luar negeri”.
Setelah
terjadi pengkhianatan G.30.S/PKI pada tanggal 1 Oktober 1965, maka dalam waktu
yang relatif sangat singkat, terjadi suatu “Perubahan Sosial” dengan timbulnya
“Orde Baru” yang menuntut pemurnian Undang-Undang Dasar 1945. Demikian pula
Gerakan Pramuka tidak ketinggalan untuk menyesuaikan diri dan menyerasikan
pelaksanaan tugas pokoknya dengan perkembangan masyarkat Indonesia pada waktu
itu.
Pada
tanggal 12 sampai dengan 20 Oktober 1970 telah diadakan Musyawarah Majelis
Permusyawaratan Pramuka I di Pandaan, Jawa Timur. Salah satu hasil musyawarah
tersebut adalah mengganti Anggaran Dasar Gerakan Pramuka sebagaimana terlampir
pada Keppres No. 238 tahun 1961 dengan Anggaran Dasar baru yang lebih
disesuaikan dan diserasikan dengan perkembangan masyarakat Orde Baru. Kemudian
pada tanggal 22 Maret 1971 Anggaran Dasar baru tersebut telah disahkan dengan
Keppres No. 12 tahun 1971. Ketentuan di dalam Anggaran Dasar Gerakan Pramuka
tentang prinsip-prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan yang
pelaksanaannya diserasikan dengan keadaan, kepentingan dan perkembangan bangsa
dan masyarakat Indonesia, membawa kemudian banyak perubahan. Prinsip-prinsip
dasar metodik pendidikan kepramukaan yang universal tetap dipegang, tetapi cara
pelaksanaannya dan pengarahannya diubah, yaitu dengan keadaan dan kebutuhan
nasional di tiap-tiap daerah di Indonesia. Gerakan Pramuka itu ternyata lebih
kuat organisasinya, dan dalam waktu singkat organisasinya telah berkembang dari
kota-kota sampai di desa-desa. Kemajuan pesat itu adalah juga berkat adanya
sistim “Majelis Pembimbing” yang dijalankan oleh Gerakan Pramuka pada tiap tingkat,
dari tingkat Nasional sampai tingkat Gugus Depan.
Mengingat
sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di desa dengan keluarga-keluarga
petaninya, maka Kwarnas Gerakan Pramuka pada tahun organisasi yang pertama
(tahun 1961) sudah menganjurkan agar para Pramuka menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan di bidang pembangunan pertanian dan di bidang pembangunan
masyarakat desa. Maka kemudian pada tahun 1966 Menteri Pertanian dan Ketua
Kwarnas Gerakan Pramuka mengeluarkan suatu Instruksi Bersama yaitu pembentukan
Satuan-satuan Karya Pramuka Tarunabumi. Perluasan Gerakan Pramuka sampai di
desa-desa dengan kegiatan-kegiatan di bidang pembangunan pertanian dan
pembangunan desa, serta pembentukan dan penyelenggaraan Satuan-satuan Karya
Pramuka Tarunabumi menarik perhatian badan-badan internasional seperti FAO,
UNICEF, ILO, dan World Scout Bureau,
serta mendapat pujian dari masyarakat Indonesia sendiri.
Dalam
perkembangan masyarakat Indonesia dewasa ini dihadapi berbagai masalah sosial,
seperti kepadatan penduduk, urbanisasi, dan pengangguran. Berhubung dengan itu,
maka pada tahun 1970 Menteri Transkop dan Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka
mengeluarkan suatu Instruksi Bersama, tentang partisipasi Gerakan Pramuka dalam
penyelenggaraan Transmigrasi dan pembinaan Gerakan Koperasi. Dan sehubungan
dengan masalah “Scholl Drops Out” (anak-anak putus sekolah), maka
Gerakan Pramuka juga mengarahkan perhatiannya kepada pendidikan kejuruan, untuk
memberi bekal hidup kepada anak-anak dan pemuda, terutama kepada “School
Drops Out” itu .
Di
samping satuan-satuan Karya Tarunabumi juga ada Satuan-satuan Karya Pramuka
Dirgantara, Pramuka Bahari, dan Pramuka Bhayangkara, yang menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan di bidangnya masing-masing.
Pada
bulan Nopember 1974 telah diselenggarakan Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka
di Manado, Sulut, yang menghasilkan Keputusan sebagai berikut:
ü
KEPMUNAS Gerakan Pramuka No.
01/MUNAS/74, tentang: Laporan dan pertanggungjawaban KWARNAS Gerakan Pramuka
masa bakti 1970-1974.
ü
KEPMUNAS Gerakan Pramuka No.
02/MUNAS/74 tentang: Pelimpahan wewenang kepada KWARNAS Gerakan Pramuka untuk
meninjau kembali ART Gerakan Pramuka.
ü
KEPMUNAS Gerakan Pramuka No.
03/MUNAS/74 tentang: Pengelolaan Keuangan KWARNAS dan pembentukan Panitia
Verifikasi laporan keuangan Kwarnas Gerakan Pramuka.
ü
KEPMUNAS Gerakan Pramuka No.
04/MUNAS/74 tentang: Pedoman Dasar Rencana Kerja Gerakan Pramuka Tahun
1974-1978.
ü
KEPMUNAS Gerakan Pramuka No.
05/MUNAS/74 tentang: Penunjukan formatur Kwarnas Gerakan Pramuka masa bakti
1974-1978.
Masa
bakti Kwarnas Gerakan Pramuka masa bakti 1974-1978 merupakan fase konsolidasi
organisasi Gerakan Pramuka dan peningkatan pendidikan dan kegiatan kepramukaan
antara lain dengan jalan menimbulkan “image” yang baik terhadap anak
didik sendiri, bahwa Gerakan Pramuka tidak saja akan membawa dirinya ke masa
depan yang cemerlang, tetapi juga menumbuhkan rasa tanggungjawab dan dapat
berbuat banyak bagi pembangunan bangsa dan negara, serta dalam rangka peningkatan
Ketahanan Nasional.
Kalau
masa bakti Kwarnas tahun 1974-1978 merupakan fase konsolidasi bagi Gerakan
Pramuka, maka setelah MUNAS 1978 yang diselenggarakan pada akhir Oktober 1978
di Bukittinggi, Sumatera Barat, diharapkan beralih kepada fase stabilisasi,
baik dalam pengelolaan organisasi dan administrasi Gerakan Pramuka maupun dalam
pengelolaan pendidikan dan kegiatan kepramukaan. Untuk minimal 2 kali masa
bakti, Kwarnas Gerakan Pramuka diharapkan adanya peningkatan usaha ke dalam
dengan mempersiapkan generasi muda melalui Gerakan Pramuka, agar: mempunyai
tanggungjawab terhadap bangsa dan Negara; mempertebal kepercayaan kepada diri
sendiri untuk berdikari dan berwiraswasta; serta ikut secara aktif dalam
memberantas kebodohan dan kemelaratan. Juga diharapkan dapat membina
kontinuitas pemupukan kepemimpinan sejak umur 7 tahun (usia pramuka siaga).
Penutup
Kepanduan (Kepramukaan) memang tidak
menganut homogeniti kelompok pandu (pramuka), atau dengan kata lain tiap-tiap
kelompok tidak harus sama corak warna seragamnya. Yang perlu sama adalah
prinsip-prinsipnya. Pandu Rakyat Kelompok Malang 1 dan Pandu Rakyat Kelompok
Malang 3 tidak sama neckerchief-nya,
hanya sama warna dasarnya, HITAM. Pandu Katholik dan Pandu HW lain lagi warna
dan corak neckerchief-nya, begitulah
dunia kepanduan. Kepanduan itu adalah cerminan Bhinneka Tunggal Ika. Tujuan
kepanduan adalah pembentukan watak dan karakter. Dilakukan dengan permainan,
oleh karenanya hanya ditujukan untuk anak-anak dan remaja. Pembentukan karakter
sudah tidak bisa lagi dilakukan pada orang dewasa, metode ini oleh masyarakat
dunia diakui berhasil.
***