Berlebihankah kita bahwa karena
sebuah bukulah maka bangsa Belanda bisa sampai di Nusantara dan melakukan
penjajahan atas bumi yang kaya raya ini selama berabad-abad ? Buku tersebut
berjudul: Itinerario, Voyagie ofte Schipvaert der Portugaloysers van Jan
Huygen van Linschoten naar Oost ofte Portugaels Indien atau disingkat
Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien –Pedoman Perjalanan ke Timur
atau Hindia Portugis” yang ditulis Jan Huygen van Linshoten di tahun 1595.
Buku Itinerario karya Jan Huygen van Linshoten, 1595. |
Negeri Rempah
Merupakan fakta jika jauh sebelum
Eropa berani melayari samudera, bangsa Arab telah dikenal dunia sebagai bangsa
pedagang pemberani yang terbiasa melayari samudera luas hingga ke Nusantara.
Bahkan kapur barus yang merupakan salah satu zat utama dalam ritual
pembalseman para Fir’aun di Mesir pada abad Sebelum Masehi, didatangkan dari
satu kampung kecil bernama Barus yang berada di pesisir Barat Sumatera
Tengah. Dari pertemuan peradaban inilah bangsa Eropa mengetahui jika ada satu
wilayah di Selatan bola dunia yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya,
yang tidak terdapat di belahan dunia manapun. Negeri itu penuh dengan karet;
lada; dan rempah-rempah lainnya. Selain itu, Eropa juga mencium adanya emas dan
batu permata yang tersimpan di perutnya. Tanah tersebut iklimnya sangat
bersahabat, dan alamnya sangat indah. Wilayah inilah yang sekarang kita kenal
dengan nama Nusantara.
Garis Tordesillas |
Mendengar semua kekayaan ini, Eropa
sangat bernafsu untuk mencari semua hal yang selama ini belum pernah
didapatkannya. Paus Alexander VI pada tahun 1494 memberikan mandat resmi gereja
kepada Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol melalui Perjanjian Tordesillas.
Dengan adanya perjanjian ini, Paus Alexander VI membelah dunia –di luar
daratan Eropa menjadi dua kapling untuk dianeksasi. Garis demarkasi dalam
perjanjian Tordesilas itu mengikuti lingkaran garis lintang dari Tanjung Pulau
Verde, melampaui kedua kutub bumi. Ini memberikan Dunia Baru –Benua Amerika
kepada Spanyol. Sementara itu, Afrika serta India diserahkan kepada Portugis.
Paus menggeser garis demarkasinya ke arah Timur sejauh 1.170 kilometer dari
Tanjung Pulau Verde. Brasil pun jatuh ke tangan Portugis. Jalur perampokan
bangsa Eropa ke arah Timur Jauh menuju kepulauan Nusantara pun terbagi dua.
Spanyol berlayar ke Barat dan Portugis ke Timur, keduanya akhirnya bertemu di
Mollucas –Maluku, di Laut Banda. Sebelumnya, jika dua kekuatan yang
tengah berlomba memperbanyak harta rampokan berjumpa tepat di satu titik maka
mereka akan berkelahi, namun saat bertemu di Maluku, Portugis dan Spanyol
mencoba untuk menahan diri. Pada tanggal 5 September 1494, Spanyol dan Portugis
membuat Perjanjian Saragossa yang menetapkan garis anti-meridian atau
garis sambungan pada setengah lingkaran yang melanjutkan garis 1.170 kilometer
dari Tanjung Verde. Garis itu berada di Timur dari kepulauan Maluku, di sekitar
Guam. Sejak itulah, Portugis dan Spanyol berhasil membawa banyak rempah-rempah
dari pelayarannya. Seluruh Eropa mendengar hal tersebut dan mulai
berlomba-lomba untuk juga mengirimkan armadanya ke wilayah yang baru di
Selatan. Ketika Eropa mengirim ekspedisi laut untuk menemukan dunia baru,
pengertian antara: “perdagangan, peperangan, dan penyebaran agama Kristen”
nyaris tidak ada bedanya. Misi imperialisme Eropa ini sampai sekarang kita
kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, dan Gospel. Seluruh penguasa, raja-raja, para pedagang, yang ada di
Eropa membahas tentang Negeri Selatan yang sangat kaya raya ini. Mereka
berlomba-lomba mencapai Nusantara dari berbagai jalur. Sayang, saat itu belum
ada sebuah peta perjalanan laut yang secara utuh dan detil memuat jalur
perjalanan dari Eropa ke wilayah tersebut –yang disebut Eropa sebagai Hindia
Timur. Peta bangsa-bangsa Eropa, baru mencapai daratan India, sedangkan
daerah di sebelah Timurnya masih gelap. Dibandingkan Spanyol, Portugis lebih
unggul dalam banyak hal. Pelaut-pelaut Portugis yang merupakan tokoh-tokoh
pelarian Templar –dan mendirikan Knight of Christ, dengan ketat berupaya
merahasiakan peta-peta terbaru mereka yang berisi jalur-jalur laut menuju Asia
Tenggara. Peta-peta tersebut saat itu merupakan benda yang paling diburu
oleh banyak raja dan saudagar Eropa.
Peta ke Timur
Dalam sejarah, peta Asia Tenggara
pertama kali dibuat oleh Ptolomeus –seorang ahli Kartografi asal Yunani.
Peta-peta ciptaan Ptolomeus inilah yang menguasai dunia Arab dan Eropa selama
kurang lebih seribu tahun. Namun dalam peta-peta Ptolomeus, Kepulauan Nusantara
masih sulit dikenali. Nusantara, baru mulai dikenal setelah ahli Kartografi
Munster membuat peta yang memuat informasi perjalanan Marcopolo. Namun ibarat
pepatah, “Sepandai-pandainya tupai
melompat, akhirnya jatuh juga”,
maka demikian pula dengan peta rahasia yang dipegang pelaut-pelaut Portugis.
Sejumlah orang Belanda yang telah bekerja cukup lama pada pelaut-pelaut
Portugis, mengetahui hal ini. Salah satu dari mereka bernama: Jan Huygen van
Linschoten.
Jan Huyghen (atau Huijgen) van Linschoten (lahir di
Haarlem, Belanda, 1563 - meninggal di Enkhuizen, 8 Februari 1611) adalah seorang
penjelajah, pedagang, penulis, dan sekaligus sebagai sejarawan Belanda beragama
Kristen Protestan.
Nama Jan Huyghen van Linschoten
dikenal terutama dari dua tulisan perjalanannya yang dianggap sebagai “kunci” bagi ekspedisi Cornelis de
Houtman ke Nusantara. Jan Huyghen van Linschoten menyalin peta pelayaran milik
Portugis yang sangat dirahasiakan, sehingga membuka jalan bagi penjelajah
Inggris dan Belanda ke Kepulauan Mollucas –rempah-rempah
(Maluku/Nusantara). Akibatnya, pada abad ke-17 dominasi Portugis (yang berpangkalan
di Malaka dan menguasai perdagangan di Maluku) di Nusantara melemah, dan
berdirilah kongsi dagang VOC (milik Belanda) di Batavia dan EIC (milik Inggris)
di Bombay, India.
Linschoten datang dari Harlem, kota
pesisir, dimana mulut sungai Spaarne mengecup hangat bibir Lautan Atlantik. Ia
melihat Harlem dalam genangan darah ketika serdadu Spanyol pimpinan Fernando
Alvarez de Toledo –Duke of Alva datang pada tahun 1572. Ia juga mengelu-elukan
Williem I ketika sang Pangeran Oranye itu membebaskan kota tersebut 4 tahun
kemudian.
Dari Harlem, ia mencari peruntungan
ke Lisabon dan mengabdi pada keuskupan. Bersama tentara, pedagang dan kaum
padre, ia mengarungi dua samudera dan berlabuh di Goa India. Lima tahun
lamanya ia menjadi sekretaris uskup di sana.
Hampir 100 tahun lamanya,
orang-orang Portugis merahasiakan rute pelayaran ke Timur melalui Tanjung
Harapan.
Risalah perjalanan bersama pelaut Portugis,
mulai dia tuliskan. Dia beri judul: Itinerario, Voyagie ofte Schipvaert der
Portugaloysers van Jan Huygen van Linschoten naar Oost ofte Portugaels Indien.
Sebuah catatan harian perjalanan ditambah dengan catatan praktis yang sangat
langka serta cerita tentang perdagangan orang Portugis di “Negeri Rempah” dan Jawa, ia publikasikan ketika kembali ke tanah
kelahirannya –Belanda.
Itinerario, menjelang akhir abad
ke-16 begitu sangat berharga di tengah bangsa Belanda yang menderita akibat
perang berkepanjangan dengan Spanyol.
Reysgescrift van de Navigatien der
Portugaloysers in Orienten, tulisan
dalam buku van Linschoten itu adalah sebuah sketsa peta yang belum
tergambar. Dia menyebutkan laut dan tempat, tanpa jalur (pengetahuan yang
sebenarnya sangat dirahasiakan oleh Portugis dan Spanyol). Tulisan itu harus
diterjemahkan lewat garis dan legenda dalam peta.
Peter Plancius adalah seorang
penerjemah kata paling ulung untuk diubah menjadi peta, tidak ada yang
meragukan keajaiban tangan laki-laki itu. Reysgescrift, dia terjemahkan dengan
baik. Akhirnya sebuah jalur untuk mengarungi samudera terbuka bagi bangsa
Belanda. Plancius lahir dengan nama Pieter Platevoet –Peter Kelasi,
merupakan anak dari keluarga kaya Flemish. Ia belajar matematika, astronomi,
geografi, sejarah, teologi dan bahasa asing. Dia kemudian mengubah namanya
menjadi Peter Plancius.
Peta "Rute ke Timur" oleh Peter Plancius (atas), Peta Orbis Terrarum diterbitkan Plancius tahun 1590 (kiri) dan diterbitkan tahun 1594 (kanan). |
Ekspedisi Cornelis de Houtman
Sejarah kemudian berpihak pada
Belanda, dengan dianugerahi seorang pemberani yang lebih dikenal sebagai
pembual dan tukang bikin onar. Dialah Cornelis de Houtman, laki-laki pemberang
dan jago pedang yang pernah tinggal di Lisabon. Dia dipercaya oleh Compagnie van Verre untuk memimpin
ekspedisi menuju Timur Jauh dengan menggunakan rute yang telah dibuat Plancius.
Compagnie van Verre –Perusahaan Jarak Jauh, merupakan sindikat yang
membiayai perjalanan de Houtman setelah sekian banyak menemui kegagalan untuk
mencari jalan ke arah Timur.
Ilustrasi empat kapal "Ekspedisi Cornelis de Houtman" |
Cornelis de Houtman dan Pieter de
Keyzer berangkat pada tanggal 2 April tahun 1595 dari pangkalan Tessel di
Belanda Utara dengan 4 buah kapal –Amsterdam, Hollandia, Mauritius dan
Duyfken dengan 249 awak, dan ternyata berhasil menapaki jalan yang telah
digoreskan oleh Plancius. Ekspedisi de Houtman sudah direcoki banyak masalah
sejak awal. Penyakit sariawan merebak hanya beberapa minggu setelah pelayaran
dimulai akibat kurangnya makanan. Di Madagaskar, di mana sebuah perhentian
sesaat direncanakan, masalah lebih lanjut menyebabkan kematian lagi, dan kapal-kapalnya
bertahan di sana selama enam bulan –teluk di Madagaskar tempat mereka
berhenti, kini dikenal sebagai “Kuburan Belanda”. Pulau Enggano di Barat
Bengkulu adalah daratan Nusantara pertama disinggahinya, kemudian tiba di
Banten pada 27 (atau 23?) Juni 1596. Awalnya diterima baik oleh
masyarakat dan Sultan Banten –Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir,
tapi kemudian tabiat buruknya kembali muncul yang menyebabkan mereka diusir.
Ekspedisi de Houtman berlanjut ke Utara pantai Jawa. Namun kali ini, kapalnya
takluk ke pembajak. Saat tiba di Madura perilaku buruk rombongan ini berujung
kesalah-pengertian dan kekerasan: seorang pangeran di Madura terbunuh sehingga
beberapa awak kapal Belanda ditangkap dan ditahan. Hal ini membuat de Houtman,
harus membayar denda untuk melepaskannya. Kapal-kapal tersebut lalu berlayar ke
Bali, dan bertemu dengan raja Bali. Mereka akhirnya berhasil memperoleh
beberapa pot merica pada 26 Februari 1597. Akhirnya ia kembali pulang dan
melihat disepanjang pelabuhan-pelabuhan Nusantara yang ditelusurinya, berkibar
bendera-bendera Portugis. Saat dalam perjalanan pulang ke Belanda, mereka
singgah di Kepulauan St. Helena –dekat Angola untuk mengisi persediaan
air dan bahan-bahan lainnya. Kedatangan mereka kali ini dihadang oleh
kapal-kapal Portugis yang merupakan pesaing mereka. Tiba di Texel Belanda,
bulan Agustus 1597 hanya dengan 3 kapal dan 87 awak –tanpa Pieter Keyser
yang telah meninggal dalam perjalanan. Memang bukan sebuah perjalanan yang
sukses –bahkan dapat dibilang gagal, namun bagi bangsa Belanda hal ini dianggap
sebagai kemenangan. Karena kini, jalan menuju Timur Jauh telah terbuka lebar.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar