Sebuah
buku yang bertajuk, Java: The Garden of the East, pertama kali diterbitkan di
Washington pada 1897, dicetak kembali oleh New York: University Press, 1984.
Buku ini menceritakan perjalanan Eliza Ruhamah Scidmore tahun 1890-an dari Batavia ke Buitenzorg, naik kereta api dari Buitenzorg, melintasi Cianjur dan sempat singgah di Bandung dan
Lembang. Kemudian dia ke Surakarta, Yogyakarta, kembali ke Priangan singgah di
Garut dan mendaki Papandayan. Setelah singgah di Garut, Eliza pulang ke negaranya melalui
Buitenzorg dan Batavia.
Java:
The Garden of the East
Eliza Ruhamah Scidmore |
Hasil Jepretan Eliza |
Jepretan Eliza |
Bandung
adalah ibukota Keresidenan Priangan dan tempat tinggal bupati pribumi serta
residen Belanda. Rumah bupati, katanya, terletak di tengah kota yang disebut
dalem atau istana. Dia juga punya sebuah vila di pinggiran kota dengan
arsitektur gaya Eropa. Dekat villa itu, terdapat kandang kuda. Bupati,
diceritakannya, kerap memenangkan piala dalam beberapa kejuaraan di Bogor dan
Bandung. (Bila dilihat dari sejarahnya, Bupati Bandung yang dimaksud oleh Eliza
Ruhamah Scidmoore, tentunya adalah RAA. Martanegara yang memerintah pada 1893 hingga 1918).
Eliza
melukiskan, para laki-laki ada yang mengenakan seperti pakaian jacket militer
dipadu dengan kain sarung dengan keris di belakang punggungnya –kemungkinan para menak atau pamongpraja.
Anak-anak pribumi, digendong ibunya dengan selendang. Eliza juga menyaksikan
kerbau dan sapi berkubang sehabis membajak sawah dan kemudian diberi jerami, anak-anak
laki kecil bertelanjang dada, kulitnya kecoklatan diterpa matahari sehingga
mereka mirip seperti patung perunggu –sayang,
Eliza tidak menceritakan detail suasana Kota Bandung, mungkin dia tidak
berkeliling kota.
Eliza juga memberikan informasi yang
didengarnya tentang piramid di Gunung Haruman, Garut, yang diyakini dari masa
lalu –jadi sebetulnya heboh piramid di
Garut saat ini juga sudah dibicarakan pada akhir abad 19, sayangnya Eliza lebih
tertarik untuk melihat Borobudur dan Prambanan. Nama tempat seperti Rajamandala
(Cianjur), Cijeruk, Cibeber, Ciranjang juga disinggung dalam buku ini.
Perempuan pembuat batik, jepretan Eliza. |
Setibanya
di Tasikmalaya, Eliza melukiskan perjalanan menuju tempat penginapan. Dia
melalui jalan yang berputar melalui lapangan yang gelap menuju Pessangrahan –pesanggrahan merupakan tempat menginap atau peristirahatan
yang dikelola pemerintah, biasanya para tuan tanah suka menginap di tempat ini.
Transportasi utama, adalah sado. Penduduk bahkan supir sado sendiri,
diceritakannya, suka berjongkok kalau ada bangsawan yang lewat. Bagi Eliza,
situasi seperti itu membuat dia seperti merasa berada “di negeri yang aneh”.
Ketika
memasuki pesanggrahan, ia melihat ada ruang terbuka yang besar di bawah serambi –ruang tamu, biasanya dilengkapi dengan meja besar dan lampu untuk membaca. Kursi-kursi, dengan sandaran panjang. Dari sana, ada
lorong panjang menuju ruang perjamuan –ruang
makan. Kamar tidur luasnya dua puluh meter persegi, tinggi dari lantai ke
langit-langit kamar 20 kaki. Kamar, mempunyai tempat tidur berukuran 7 x 9
kaki.
Pagi
hari ketika keluar dari passangrahan, Eliza melihat pasar setengah mingguan
digelar di tempat terbuka depan Pesanggrahan. Yang dijual, antara lain:
buah-buahan, bunga, sarung, surban, lada, selendang, dan kerajinan tangan. Bunga
yang dijual, mulai dari melati hingga mawar. Eliza merogoh kocek tiga sen gulden untuk
bunga melati dan mawar.
Komoditi
lain yang dijual adalah botol buatan sendiri berisi air mawar dan melati,
selendang dan saputangan dibordir dengan warna-warna kuat merupakan kerajinan
tangan setempat. Yang menarik bagi Eliza, ia melihat parapenjahit yang berjumlah sekitar 30
hingga 40 orang, berbaris rapi di bawah naungan pohon kenari –sebagai orang Amerika, dia tahu di negerinya
usaha menjahit sudah didukung mesin yang lebih kecil dan efesien. Namun
penjahit di Tasikmalaya menurut Eliza –sambil mengungkapkan
kekagumannya pada parapenjahit itu, yang matanya seperti burung hantu.
Pelanggan membawa pakaian, penjahit menggunakan matanya dan mengukur, akhirnya
melakukan pekerjaan sesuai kehendak pelanggannya.
Paviliun Hotel van Horck di Garut dalam sebuah postcard, 1900. |
Alun-alun
kota, hijau asri, dimana terdapat rumah bupati pribumi –pada waktu itu diperintah Raden Adipati Aria Wiratanudatar VIII yang memerintah dari 1871
hingga 1915. Terdapat rumah warga Belanda, serta sebuah masjid. Mufti masjid
sebelumnya sebetulnya seorang pria yang cerdas dan berpandangan bebas, dia hanya
memiliki seorang istri. Dia mengizinkan istrinya –dengan wajah terbuka belajar Bahasa Belanda dan bertemu dengan
tamu-tamu asingnya, baik laki-laki maupun perempuan. Para pelancong kerap
membawa surat kepada mufti ini, dan mengutip perkataannya pada buku-bukunya.
Namun sejak kematiannya, ulama yang lebih konservatif memerintah.
Para
wisatawan masa itu menganggap, pesiar besar di kawasan Garut ialah mengunjungi
Kawah Papandayan. Gunung yang dilukiskan dalam bukunya itu, memiliki panjang 15 mil
dan lebar 6 mil, menjadi tujuan Eliza dan rombongannya –tidak dilukiskan dengan detail siapa saja yang ikut, gunung itu pernah
meletus sekitar seratus tahun ketika penulis buku itu berkunjung. Pada waktu
itu (akhir abad ke 19) Papandayan masih beruap, bergemuruh seperti petir dan
setiap saat bisa meledak. Dalam bukunya, Eliza mendapatkan informasi bahwa Papandayan meletus pada 1772. Massa padat
gunung itu terlontar keluar ke udara, aliran lava tercurah, abu tumpah menutupi area seluas 7 mil persegi dan sekitar dengan
lapisan lima kaki tebalnya. Letusan menghancurkan empat puluh desa, dan menewaskan tiga ribu jiwa dalam satu hari. Wisatawan bisa melihat bekas letusan di dekat gunung dan
uap panas kerap ke luar. Eliza menceritakan dalam bukunya:
“Kami memulai perjalanan pada suatu pagi di bawah hujan dan melaju dua belas mil di dataran yang keras, jalan berpasir putih, terus perbatasan putih dengan naungan pohon.
Kami melewati desa-desa yang basah dan tampak muram. Kami melalui dangau-dangau
yang berada diantara sawah dimana anak laki-laki dengan katapel mengusir gagak
yang menganggu sawah. Pemandangan ini mirip yang kami lihat di Hizen, Jepang” (halaman 314).
Djoelie atau Djoelis, tandu transportasi. |
Para
wisatawan ini, bertemu rombongan kuli yang membawa batu belerang –Eliza menyebutnya balerang berwarna
kuning di keranjang pada punggungnya. Dari ketinggian, rombongan melihat
pemandangan dataran Garut yang hijau. Bagian atas gunung, ada jaringan jalan
putih. Rombongan, melewati sisi lain dari gunung yang solid yang dibuat oleh
bekas letusan.
Kami
melintasi daerah berbatuan dan melihat kolam balerang yang menggelegak seluas 5
acre. Penampilannya mirip kolam emas yang mendidih. Ada kekhawatiran kalau
sewaktu-waktu kolam itu meledak dan menembak ke udara. Suara bergemuruh di
bawah tanah terasa aneh, seperti suara rantai besi, seperti orang yang bekerja
di bengkel. Mungkin ini yang menyebabkan gunung ini dinamakan Papandayan.
Kuli-kuli yang membawa balerang berjalan hati-hati diantara kolam-kolam
balerang. Sepatu kami saja tidak tahan terhadap uap panas. Belum lagi resiko
gas-gas beracun seperti gas karbon dan hydrogen sulfur adalah ancaman maut. (halaman 319).
Orang
dapat melihat Laut Jawa dan Samudera Hindia dari puncak Papandayan yang berada
sekitar 7000 kaki dari permukaan laut, walaupun langit berawan. Kuli-kuli yang
membawa Djoelis tidak menemukan jalan di tepi kawah untuk bisa membawa rombongan
(resikonya bisa terguling karena kemiringannya). Mau tidak mau mereka harus
turun berjalan kaki melewati semak-semak dan rumpun bambu, pelayan mereka
berjalan mendahului.
Parakuli Djoelis ini diceritakan sebagai orang-orang yang malas, miskin, kerap ditipu
pemilik lounge, karena mereka sulit menyediakan kuda yang bisa dibawa mendaki
gunung. Kuli-kuli terlihat murung, berjalan tanpa alas kaki dan enggan kalau
harus melewati semak-semak berduri. Beberapa kali kuli-kuli ini mengeluh, namun
Eliza dan rombongan bersikeras ingin melihat Laut Hindia dari atas. Setelah melewati
hutan bambu dan semak-semak, mereka tiba di daerah berbatuan. Mereka melihat
pemandangan berawan, biru bercampur kelabu (musim hujan).
Kami
kembali melihat pemandangan mosaic sawah dan dataran Garut yang kering serta
kaki gunung, serta batas Laut Hindia berwarna keperakan. Kami melihat tanaman
yang sudah dibudidayakan seperti teh, disusul kopi diketinggian di atasnya dan
batas tanaman kina. (halaman 320).
Eliza
teringat imajinasi dari ahli bedah dari VOC di Semarang pada 1773 bernama dr.
Foersch, yang memberikan cerita perjalanan menakutkan melintasi lembah maut di
dataran Dieng.
Rombongan
turun dan beristirahat di bangunan tempat paratamu dan batu-batu balerang
diletakkan. Para kuli membawa kami turun melalui jalur lain melintasi berbagai
tanaman, diantara tanaman kopi yang tidak setiap waktu ada. Eliza tiba di Desa
Cisurupan dan mendapat sambutan dari kepala desa. Para tamu, diberikan suguhan
pertunjukan gamelan dengan berbagai lagu. Menurut cerita Eliza, dia dan
rombongannya tiba di Garut sore hari dan terlambat untuk mandi. Dalam bukunya,
ia menulis: terang bulan yang menyelimuti teras, memberikan ingatan indah tentang
jalan-jalan dengan pohon rindang di Garut, serta patung Mozart seperti
memandanginya. Setelah singgah di Garut, Eliza pulang ke negaranya melalui Buitenzorg
dan kemudian lanjut ke Batavia.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar