Domba
Garut merupakan simbol kebangkitan ekonomi kerakyatan, meskipun dagingnya
selama ini menjadi “Kambing Hitam” bagi segala penyakit kolesterol dan darah
tinggi.
Presiden Joko Widodo bersama parapemenang Kontes Domba Garut dan Kambing |
Piala
Kemerdekaan RI
Sabtu tanggal 27 Agustus 2016 pagi,
suasana Istana Kepresidenan Bogor dan Kebun Raya Bogor tampak berbeda. Pagi
itu, lebih dari 700 domba dan 700 peternak berkumpul mengikuti “Kontes Domba Garut dan Kambing” yang
digagas langsung oleh Presiden Joko Widodo dan diinisiasi oleh Himpunan
Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI). Selain memperebutkan Piala
Kemerdekaan, kontes itu juga menyediakan uang pembinaan yang mencapai puluhan
juta rupiah bagi parapemenang. Presiden sengaja menggelar Kontes Domba Garut
dan Kambing di Istana Bogor, untuk memberikan pesan, bahwa: Domba Garut
merupakan “simbol kebangkitan ekonomi kerakyatan”, sekaligus memperingati Hari
Lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan yang ke-180 yang diperingati tanggal 26
Agustus-26 September setiap tahun –ke-180,
dihitung dari saat Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan plakat pelarangan
pemotongan sapi betina produktif pada hari itu.
Ada empat kategori yang akan dikonteskan
dalam ajang tersebut, yakni: Raja Pedaging, Raja Petet, Raja Kasep, dan Ratu
Bibit.
kategori Raja Pedaging, memilih domba
yang paling banyak menghasilkan daging.
kategori Raja Petet, memilih domba yang
berusia remaja namun berpotensi menjadi pejantan yang menghasilkan daging
berkualitas.
kategori Raja Kasep, memilih domba yang berbadan kekar, bertanduk bagus,
berbulu halus dan memiliki kondisi kesehatan prima.
kategori Ratu Bibit, memilih domba
betina yang mampu menghasilkan anakan berkualitas dan berpotensi memiliki
daging yang baik.
Kontes Domba Garut dan Kambing di Istana Bogor |
Plakat
26 Agustus 1836
Kesadaran tentang arti penting keamanan
produk pangan asal hewan, secara historis sudah dimulai jauh sebelum Indonesia
merdeka. Untuk kepentingan operasi militer Belanda (penanganan kesehatan kuda
kavaleri dan pengawasan makanan asal hewan) dikirim dokter hewan pertama asal
Belanda KA Copiters pada 1820. Kemudian dilanjutkan dengan pengaturan tentang
peternakan dan kesehatan hewan pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda dengan
menerbitkan Plakat pada 26 Agustus 1836 tentang Larangan Pemotongan Sapi Betina
Produktif, yang mengatur: (1) pemotongan hewan betina bertanduk, dan (2) lalu-lintas
ternak antardaerah untuk pencegahan penyakit menular. Adanya pengaturan lalu-lintas
ternak asal daerah terbukti sangat penting, karena terbukti wabah penyakit
hewan menular pernah terjadi, seperti: (1) penyakit Septichenia Epizooticae
(ngorok) pada 1884; (2) penyakit Anthrax (radang limpa) 1884; (3)
penyakit Aptae Epizooticae (mulut dan kuku) 1887; dan (4) penyakit Rinderpest
(sampar menular) tahun 1897. Pada tahun 1936, Pemerintah Hindia Belanda juga menerbitkan
Staatsblad Nomor 614 Tahun 1936 tentang Pelarangan Pemotongan Sapi Betina Produktif
–dan beberapa Ordonansi yang masih
digunakan di era Kemerdekaan. Selanjutnya sejarah mencatat bahwa
pembangunan peternakan di negeri ini, diatur oleh beberapa perundang-undangan,
yaitu diantaranya: di masa Orde Baru, lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967
tentang Pokok-pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta di era Reformasi
yaitu ditandai lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan –yang kemudian
direvisi oleh Mahkamah Konstitusi atas beberapa pasal melalui keputusan MK
Nomor 137/PUU-VII/2009. Dari peristiwa-peristiwa di atas, maka pada Tanggal
26 Agustus 1836 telah dipilih sebagai Hari
Lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan dan mulai tanggal 26 Agustus 2003 yang
lalu segenap masyarakat peternakan dan kesehatan hewan telah menandatangani
Hari Lahir dan Bulan Bhakti Peternakan dan Kesehatan Hewan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar