Minggu, 29 Juni 2014

Itinerario, perjalanan ke Negeri Rempah-Rempah



Berlebihankah kita bahwa karena sebuah bukulah maka bangsa Belanda bisa sampai di Nusantara dan melakukan penjajahan atas bumi yang kaya raya ini selama berabad-abad ? Buku tersebut berjudul: Itinerario, Voyagie ofte Schipvaert der Portugaloysers van Jan Huygen van Linschoten naar Oost ofte Portugaels Indien atau disingkat Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien –Pedoman Perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis” yang ditulis Jan Huygen van Linshoten di tahun 1595.
Buku Itinerario karya Jan Huygen van Linshoten, 1595.

Negeri Rempah
Merupakan fakta jika jauh sebelum Eropa berani melayari samudera, bangsa Arab telah dikenal dunia sebagai bangsa pedagang pemberani yang terbiasa melayari samudera luas hingga ke Nusantara. Bahkan kapur barus yang merupakan salah satu zat utama dalam ritual pembalseman para Fir’aun di Mesir pada abad Sebelum Masehi, didatangkan dari satu kampung kecil bernama Barus yang berada di pesisir Barat Sumatera Tengah. Dari pertemuan peradaban inilah bangsa Eropa mengetahui jika ada satu wilayah di Selatan bola dunia yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, yang tidak terdapat di belahan dunia manapun. Negeri itu penuh dengan karet; lada; dan rempah-rempah lainnya. Selain itu, Eropa juga mencium adanya emas dan batu permata yang tersimpan di perutnya. Tanah tersebut iklimnya sangat bersahabat, dan alamnya sangat indah. Wilayah inilah yang sekarang kita kenal dengan nama Nusantara
Garis Tordesillas
Mendengar semua kekayaan ini, Eropa sangat bernafsu untuk mencari semua hal yang selama ini belum pernah didapatkannya. Paus Alexander VI pada tahun 1494 memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol melalui Perjanjian Tordesillas. Dengan adanya perjanjian ini, Paus Alexander VI membelah dunia –di luar daratan Eropa menjadi dua kapling untuk dianeksasi. Garis demarkasi dalam perjanjian Tordesilas itu mengikuti lingkaran garis lintang dari Tanjung Pulau Verde, melampaui kedua kutub bumi. Ini memberikan Dunia Baru –Benua Amerika kepada Spanyol. Sementara itu, Afrika serta India diserahkan kepada Portugis. Paus menggeser garis demarkasinya ke arah Timur sejauh 1.170 kilometer dari Tanjung Pulau Verde. Brasil pun jatuh ke tangan Portugis. Jalur perampokan bangsa Eropa ke arah Timur Jauh menuju kepulauan Nusantara pun terbagi dua. Spanyol berlayar ke Barat dan Portugis ke Timur, keduanya akhirnya bertemu di Mollucas –Maluku, di Laut Banda. Sebelumnya, jika dua kekuatan yang tengah berlomba memperbanyak harta rampokan berjumpa tepat di satu titik maka mereka akan berkelahi, namun saat bertemu di Maluku, Portugis dan Spanyol mencoba untuk menahan diri. Pada tanggal 5 September 1494, Spanyol dan Portugis membuat Perjanjian Saragossa yang menetapkan garis anti-meridian atau garis sambungan pada setengah lingkaran yang melanjutkan garis 1.170 kilometer dari Tanjung Verde. Garis itu berada di Timur dari kepulauan Maluku, di sekitar Guam. Sejak itulah, Portugis dan Spanyol berhasil membawa banyak rempah-rempah dari pelayarannya. Seluruh Eropa mendengar hal tersebut dan mulai berlomba-lomba untuk juga mengirimkan armadanya ke wilayah yang baru di Selatan. Ketika Eropa mengirim ekspedisi laut untuk menemukan dunia baru, pengertian antara: “perdagangan, peperangan, dan penyebaran agama Kristen” nyaris tidak ada bedanya. Misi imperialisme Eropa ini sampai sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, dan Gospel. Seluruh penguasa, raja-raja, para pedagang, yang ada di Eropa membahas tentang Negeri Selatan yang sangat kaya raya ini. Mereka berlomba-lomba mencapai Nusantara dari berbagai jalur. Sayang, saat itu belum ada sebuah peta perjalanan laut yang secara utuh dan detil memuat jalur perjalanan dari Eropa ke wilayah tersebut –yang disebut Eropa sebagai Hindia Timur. Peta bangsa-bangsa Eropa, baru mencapai daratan India, sedangkan daerah di sebelah Timurnya masih gelap. Dibandingkan Spanyol, Portugis lebih unggul dalam banyak hal. Pelaut-pelaut Portugis yang merupakan tokoh-tokoh pelarian Templar –dan mendirikan Knight of Christ, dengan ketat berupaya merahasiakan peta-peta terbaru mereka yang berisi jalur-jalur laut menuju Asia Tenggara. Peta-peta tersebut saat itu merupakan benda yang paling diburu oleh banyak raja dan saudagar Eropa.

Peta ke Timur
Dalam sejarah, peta Asia Tenggara pertama kali dibuat oleh Ptolomeus –seorang ahli Kartografi asal Yunani. Peta-peta ciptaan Ptolomeus inilah yang menguasai dunia Arab dan Eropa selama kurang lebih seribu tahun. Namun dalam peta-peta Ptolomeus, Kepulauan Nusantara masih sulit dikenali. Nusantara, baru mulai dikenal setelah ahli Kartografi Munster membuat peta yang memuat informasi perjalanan Marcopolo. Namun ibarat pepatah, “Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga”, maka demikian pula dengan peta rahasia yang dipegang pelaut-pelaut Portugis. Sejumlah orang Belanda yang telah bekerja cukup lama pada pelaut-pelaut Portugis, mengetahui hal ini. Salah satu dari mereka bernama: Jan Huygen van Linschoten.
Jan Huyghen (atau Huijgen) van Linschoten (lahir di Haarlem, Belanda, 1563 - meninggal di Enkhuizen, 8 Februari 1611) adalah seorang penjelajah, pedagang, penulis, dan sekaligus sebagai sejarawan Belanda beragama Kristen Protestan.
Nama Jan Huyghen van Linschoten dikenal terutama dari dua tulisan perjalanannya yang dianggap sebagai “kunci” bagi ekspedisi Cornelis de Houtman ke Nusantara. Jan Huyghen van Linschoten menyalin peta pelayaran milik Portugis yang sangat dirahasiakan, sehingga membuka jalan bagi penjelajah Inggris dan Belanda ke Kepulauan Mollucas –rempah-rempah (Maluku/Nusantara). Akibatnya, pada abad ke-17 dominasi Portugis (yang berpangkalan di Malaka dan menguasai perdagangan di Maluku) di Nusantara melemah, dan berdirilah kongsi dagang VOC (milik Belanda) di Batavia dan EIC (milik Inggris) di Bombay, India.
Linschoten datang dari Harlem, kota pesisir, dimana mulut sungai Spaarne mengecup hangat bibir Lautan Atlantik. Ia melihat Harlem dalam genangan darah ketika serdadu Spanyol pimpinan Fernando Alvarez de Toledo –Duke of Alva datang pada tahun 1572. Ia juga mengelu-elukan Williem I ketika sang Pangeran Oranye itu membebaskan kota tersebut 4 tahun kemudian.
Dari Harlem, ia mencari peruntungan ke Lisabon dan mengabdi pada keuskupan. Bersama tentara, pedagang dan kaum padre, ia mengarungi dua samudera dan berlabuh di Goa India. Lima  tahun lamanya ia menjadi sekretaris uskup di sana.
Hampir 100 tahun lamanya, orang-orang Portugis merahasiakan rute pelayaran ke Timur melalui Tanjung Harapan.
Risalah perjalanan bersama pelaut Portugis, mulai dia tuliskan. Dia beri judul: Itinerario, Voyagie ofte Schipvaert der Portugaloysers van Jan Huygen van Linschoten naar Oost ofte Portugaels Indien. Sebuah catatan harian perjalanan ditambah dengan catatan praktis yang sangat langka serta cerita tentang perdagangan orang Portugis di “Negeri Rempah” dan Jawa, ia publikasikan ketika kembali ke tanah kelahirannya –Belanda.
Itinerario, menjelang akhir abad ke-16 begitu sangat berharga di tengah bangsa Belanda yang menderita akibat perang berkepanjangan dengan Spanyol.
Reysgescrift van de Navigatien der Portugaloysers in Orienten, tulisan dalam buku van Linschoten itu adalah sebuah sketsa peta yang belum tergambar. Dia menyebutkan laut dan tempat, tanpa jalur (pengetahuan yang sebenarnya sangat dirahasiakan oleh Portugis dan Spanyol). Tulisan itu harus diterjemahkan lewat garis dan legenda dalam peta.
Peter Plancius adalah seorang penerjemah kata paling ulung untuk diubah menjadi peta, tidak ada yang meragukan keajaiban tangan laki-laki itu. Reysgescrift, dia terjemahkan dengan baik. Akhirnya sebuah jalur untuk mengarungi samudera terbuka bagi bangsa Belanda. Plancius lahir dengan nama Pieter Platevoet –Peter Kelasi, merupakan anak dari keluarga kaya Flemish. Ia belajar matematika, astronomi, geografi, sejarah, teologi dan bahasa asing. Dia kemudian mengubah namanya menjadi Peter Plancius.
Peta "Rute ke Timur" oleh Peter Plancius (atas), Peta Orbis Terrarum diterbitkan Plancius tahun 1590 (kiri) dan diterbitkan tahun 1594 (kanan).

Ekspedisi Cornelis de Houtman
Sejarah kemudian berpihak pada Belanda, dengan dianugerahi seorang pemberani yang lebih dikenal sebagai pembual dan tukang bikin onar. Dialah Cornelis de Houtman, laki-laki pemberang dan jago pedang yang pernah tinggal di Lisabon. Dia dipercaya oleh Compagnie van Verre untuk memimpin ekspedisi menuju Timur Jauh dengan menggunakan rute yang telah dibuat Plancius. Compagnie van Verre –Perusahaan Jarak Jauh, merupakan sindikat yang membiayai perjalanan de Houtman setelah sekian banyak menemui kegagalan untuk mencari jalan ke arah Timur. 
Ilustrasi empat kapal "Ekspedisi Cornelis de Houtman"
Cornelis de Houtman dan Pieter de Keyzer berangkat pada tanggal 2 April tahun 1595 dari pangkalan Tessel di Belanda Utara dengan 4 buah kapal –Amsterdam, Hollandia, Mauritius dan Duyfken dengan 249 awak, dan ternyata berhasil menapaki jalan yang telah digoreskan oleh Plancius. Ekspedisi de Houtman sudah direcoki banyak masalah sejak awal. Penyakit sariawan merebak hanya beberapa minggu setelah pelayaran dimulai akibat kurangnya makanan. Di Madagaskar, di mana sebuah perhentian sesaat direncanakan, masalah lebih lanjut menyebabkan kematian lagi, dan kapal-kapalnya bertahan di sana selama enam bulan –teluk di Madagaskar tempat mereka berhenti, kini dikenal sebagai “Kuburan Belanda”. Pulau Enggano di Barat Bengkulu adalah daratan Nusantara pertama disinggahinya, kemudian tiba di Banten pada 27 (atau 23?) Juni 1596. Awalnya diterima baik oleh masyarakat dan Sultan Banten –Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir, tapi kemudian tabiat buruknya kembali muncul yang menyebabkan mereka diusir. Ekspedisi de Houtman berlanjut ke Utara pantai Jawa. Namun kali ini, kapalnya takluk ke pembajak. Saat tiba di Madura perilaku buruk rombongan ini berujung kesalah-pengertian dan kekerasan: seorang pangeran di Madura terbunuh sehingga beberapa awak kapal Belanda ditangkap dan ditahan. Hal ini membuat de Houtman, harus membayar denda untuk melepaskannya. Kapal-kapal tersebut lalu berlayar ke Bali, dan bertemu dengan raja Bali. Mereka akhirnya berhasil memperoleh beberapa pot merica pada 26 Februari 1597. Akhirnya ia kembali pulang dan melihat disepanjang pelabuhan-pelabuhan Nusantara yang ditelusurinya, berkibar bendera-bendera Portugis. Saat dalam perjalanan pulang ke Belanda, mereka singgah di Kepulauan St. Helena –dekat Angola untuk mengisi persediaan air dan bahan-bahan lainnya. Kedatangan mereka kali ini dihadang oleh kapal-kapal Portugis yang merupakan pesaing mereka. Tiba di Texel Belanda, bulan Agustus 1597 hanya dengan 3 kapal dan 87 awak –tanpa Pieter Keyser yang telah meninggal dalam perjalanan. Memang bukan sebuah perjalanan yang sukses –bahkan dapat dibilang gagal, namun bagi bangsa Belanda hal ini dianggap sebagai kemenangan. Karena kini, jalan menuju Timur Jauh telah terbuka lebar.


***

Naskah Sanghyang Sasana Maha Guru



Naskah Sanghyang Sasana Maha Guru

1 – Pañcawédani1
Ndeh2 Sanghya(ng) Sasana Maha Guru ngaran sanghyang3 pustaka. Sasana4 ma ngaranya urut nu ti heula. Maha5 ma nu leuwih ti leuwih, tina dunya. Guru ma [ma] ngara(n)na puhun6 nikang rat7 kabéh.
Nya ieu pustaka suci Sanghyang Sasana Maha Guru téh. Sasana hartina titinggal ti nu ti heula. Maha hartina nu leuwih ti nu leuwih, ti (saamparan) dunia. Guru hartina sumber pikeun sakumna manusa.
1pancawedani: asal tina: panca=lima; we=cai; dani=sapu nyere. Pancawedani : lima jalan pikeun manusa enggoning mersihkeun jiwana tina rupa-rupa pangaruh goréng, nyaéta bwah, paksa, huning, temen, jeung daék.
2ndeh: ‘Tah !’ (kecap panyeluk), nihan: ‘ieu’ (kecap panuduh)
3sanghyang: suci (ditempatkeun saméméh kecap barang pikeun nuduhkeun yén éta barang téh suci).
4sasana: ajaran, doktrin, sarana.
5maha: badag, gedé, agung.
6puhun: awal, wiwitan, sumber, tangkal. Di baduy pupuhu kaagamaan disebut puun. ngandung ogé harti séjén emang’ (adi indung atawa bapa).
7rat: manusa, jalma.

Hana upadyanta8 kadya(ng)ga9 ning manik10 kanarga,11 lawan manik sawéstra.12 Yéka puhuning suka duka, hala13 hayu.14 Byaktanya15 nihan: Bwah16 paksa,17 huning18 t(e)men,19 daék mwa kapalang.
Aya jalan tindakan nu kudu dituturkeun ku anjeun, nu dipapandékeun jeung perhiasan mutiara, ogé mutiara nu moncorong. Nya éta wiwitan tina kaayaan suka jeung dukana, cilaka jeung salametna. Ieu écésna mah: hasil maksud, mikaweruh enya-enya, daék hanteu kapalang.
8upadyanta = asalna tina: upadéya –nta ‘jalan tindakan nu kudu dituturkeun –ku anjeun’.
9kadyangga = kadi + anggan: minangka, lir ibarat.
10manik: mutiara.
11kanarga = tina: ‘kana’ atawa ‘kangkana’: perhiasan dina leungeun upamana: gelang, cingcin. jeung ‘arga’: ajen, harga atawa gunung. Manik kanarga = perhiasan nu hargaan, perhiasan nu ajénan.
12sawéstra = tina: ‘sawé’= ngalayah. Manik sawéstra = manik nu ngalayah.
13hala: cilaka, mamala.
14hayu: salamet.
15byakta: écés, jéntré.
16bwah: hasil.
17paksa: tujuan, maksud, kahayang nu kuat.
18huning: mikanyaho, mikaweruh.
19temen: enyaan, enya-enya.

Kalinganya:20 bwah ma sanghya(ng) pratiwi,21 basana dipahayu, diturunkeu(n), ditaék(k)eun, dicamahan,22 dicampuran, hanteu susut23 hanteu pu(n)dung hanteu geurah24 hanteu bijah,25 keu[deu]deung deung langgeng ngawakan na kapratiwian. Iya kéh! Éta na awak(eu)neun sang séwaka darma.
Maksudna: bwah (hasil) téh bumi nu suci, nalika disalametkeun, diturunkeun, ditaékkeun, dikotoran, dicampuran, hanteu tisusut hanteu pundung hanteu motah hanteu ingkah, sakeudeung jeung salawasna ngamalkeun kapratiwian (aturan kaduniawian). Enya kitu! Éta nu kudu diamalkeun ku nu ngabdi kana darma (hukum).
20kalinganya = asal tina: ka + ling +-an + -iya. Ling, hartina ‘ucap’ kalinganya = maksud tina ucapan.
21pratiwi: bumi, sanghyang pratiwi ‘bumi nu suci’.
22dicamahan = dijieun jadi camah = dijieun jadi rujit = ‘dirurujit’.
23susut: labuh. Saperti dina kalimah: tisusut.
24geurah: gumbira, suka bungah. Dina konteks kalimah di luhur, jigana nuduhkeun harti ‘kaayaan motah’.
25bijah: motah, mijah.

Paksa ma cai, alaeunana ma, basana biji[h]l ti huluna. Téka26 bwar27 hérang tiis rasana. Geus ma28 hanteu kawurungan,29 teka30 ri31 sagara. Sa/4v/kitu na turutk(eu)neun sang séwaka darma.32
Paksa (maksud) téh nyaéta cai, alaeunana mah nalika bijil ti huluna. Karasa ngamalir hérang tur tiis. Jeungna hanteu kahalangan nepi ka sagara. Sakitu nu kudu diturut ku nu ngabdi kana darma (hukum).
26téka = asal tina: ta + ika = nya éta.
27bwar: bor. Dipikawanoh kecap balobor. Jigana parobahan tina bor + ‘rajékan dwi purwa’ bobor + infiks -al- = balobor, mangrupa kecap panganteur pagawéan pikeun nu ngamalir, upamana: cai, getih, késang, jeung saterusna.
28geus ma: anggeus mah, jeungna.
29kawurungan = asal tina: ka-+wurung+-an = hartina sarua jeung: ka+batal+an = kahalangan.
30teka: nepi ka. Ulah pahili jeung téka (tina: ta + ika) ‘nyaéta’.
31ri: di, ka (kecap pangantét).
32séwaka darma = sebutan pikeun nu ngabdi kana tugas (hukum)na di alam dunia.

Huning ma ngaran angin, alaeunana ma, basana m(e)tu ti barat, téka hir33 tiis, leuleus datangna ka awak urang. Geus ma hanteu kawurunganan, basana bijil medeng34 di bwana. Sakitu na turutk(eu)neun, ku sang séwaka darma.
Huning (pangaweruh) mah nyaéta angin, alaeunana mah, basa bijil ti kulon, karasa ngahiliwir tiis, leuleus nebak awak urang. Jeungna hanteu kahalangan, nalika bijil di alam dunia. Sakitu nu kudu diturut ku nu ngabdi kana darma.
33hir: hiliwir. Kecap panganteur pikeun angin.
34medeng = asal tina: sedeng+n- anu hartina ‘meujeuhna’.

T(e)men ta ma ngaraning ka apuy35 deungeun ga(ng)gaman.36 Ti iña éta dipipakeunnakeun37 ku nu réya,38 ku geui(ng)39 na temen.
Temen (enya-enya) téh nyaéta seuneu jeung ganggaman. Nya ti dinya nu matak dimangpaatkeun ku jalma réa, ku nu pikiranna soson-soson.
35apuy: seuneu. Kalimah ‘parupuyan’ jigana mangrupa obahan tina apuy+pa-an -> paapuyan -> parupuyan.
36ganggaman: sanjata, pakarang.
37dipipakeunakeun = asal tina: dipi –+ pikeun+na+keun = ‘di(pigawé) pikeun’.
38nu réya: jalma réa.
39geuing: kasadaran, pikiran.

Daék éka ma ngaranya, Sanghyang Aditya,40 basana m(e)tu ti bwana wétan, hanteu kawurunganan, ku méga ku hujan, (ku) kukus41 ku sanghub,42 teka ri(ng) kulwan, ku geui(ng) éka laksana.
Daék (kahayang) mah nyaéta panon poé, nalika medal ti buana béh wétan, hanteu kahalangan, ku méga ku hujan, ku haseup jeung halimun, nepi ka (surup) di béh kulon, ku sabab kasadaran kana hiji lampah.
40sanghyang aditya: panon poé.
41kukus: haseup, kabut.
42sanghub: halimun.

Kitu kéh na turutk(eu)neun, ku sang séwaka darma. Mulah mwa43 iyatna-yatna44 di Sanghya(ng) Pasangkanan.45 Nihan sina(ng)guh pañcawédani46 ngaranya. Panca /5v/ ma watek lima, wé47 ma cai, dani48 ma sapu ñéré.
Sakitu nu kudu diturut, ku nu ngabdi kana darma. Mangka jeung iyatna kana Sanghyang Pasangkanan (Ajaran Awal). Nya ieu nu disebut pañcawédani téh. Panca hartina watek lima, wé hartina cai, dani hartina sapu nyéré.
43mulah mwa: kudu, ulah hanteu.
44iyatna-yatna: merhatikeun enya-enya.
45sanghyang pasangkanan: ajaran wiwitan, ajaran awal.
46pañcawédani: lima jalan pikeun mersihkeun jiwa.
47wé: cai.
48dani: jadi caang, lénglang, béngras. Dina téks di luhur mah dipapandékeun jeung sapu nyéré, nu sapopoé dipaké alat pikeun mersihkeun runtah.

2 – Siksa Kandang; Siksa Kurung; Siksa Dapur
Ini siksa ka(n)dang49 ngaranya, siksa kurung,50 siksa dapur.51
Nya ieu nu disebut siksa kandang, siksa kurung jeung siksa dapur téh.
49siksa kandang: ngatur étika antara manusa jeung papadana. Kumaha hubungan jeung tatangga, deungeun-deungeun, atawa nalika urang indit-inditan diatur dina siksa kandang.
50siksa kurung: nyaéta ngatur saréngkak saparipolah antara manusa jeung ahli agama.
51siksa dapur: nyaéta hakékat tina sagala ajaran-ajaran saméméhna. Mangrupa aci-aciningna manusa nu geus bisa meuseuh kahirupan profanna, nujul kana kahirupana nu transenden, ku baktina nu satia ka guruna, sang pandita.

Kalinganya: na siksa kandang ma ngara(n)na, sakuliling sarira. Jeujeueung ma na halwaan, halwaan si panghawanan, na ni(ng) panglu(ng)guhan, iña éta na ingetkeuneun deung urang. Maka iyatna-yatna! Sugan urang asup tepas, asup dalem, hanteu ngeunah lamun hanteu dayeuhanana. Ya siksa kandang ngara(n)na.
Maksudna, siksa kandang téh, aya disakuliling diri anjeun. Ningali rupa-rupa gogoda, gogoda dina perjalanan, atawa dina panglungguhan, nyaéta nu kudu diinget ku urang. Mangka perhatikeun sing iyatna! Sugan urang asup ka buruan, ka imah, moal ngeunah lamun urang lain nu dumuk di dinya. Éta nu disebut siksa kandang téh.

Masa urang paparan, hanteu ngeunah palar cidera ku pangeusi huma sakalih, ku pangeusi kebwan sakalih. Mangka nguni hiris meubeut ceuli, lamun kacang meubeut tarang, ngala tu(n)da ngala ka(n)tenan, nurunkeun sadapan sakalih. Hanteu ngeunah ngising di pi(ng)gir jalan, sugan kaa(m)beu ku nu bangah, bisi kasumpah kapadakeun, ambu, /5r/ ayah, pangguruan. Mulah mwa maké cangcut pangadua, sugan urang pajeueung deung gusti deung mantri, mulah mwa ngidal, pangadwakwakwa(ng)keun. Ya siksa k(an)dang ngaranya.
Mangsa urang indit-inditan, teu hadé boga niat deleka, ka batur nu boga ‘huma’, atawa batur nu boga kebon. Ku kituna, hiris meubeut ceuli lamun kacang meubeut tarang. Nyokot teuteundeunan atawa nu geus puguh nu bogana, nurunkeun sadapan batur. Teu hadé urang ngising di sisi jalan, bisi kaambeu ku nu balangah, engkéna bisi disumpahan jeung disalahkeun: ku indung, bapa, jeung paguron. Sawadina urang maké calana jangkep, bisi urang panggih jeung raja jeung mantri, urang kudu aya di kéncaeunana turta dongko. Éta nu disebut siksa kandang téh.

Siksa kurung ma, sakarma deung sang pan(di)ta. A(ng)geus ma hanteu ngeunah ngareuseuh beunang diheueum, ngarumpak sanghya(ng) siksa. Lamun a(ng)geus ñahwa diwuku-wuku dina leukeur-leukeur, dangda-dangdi sipat geuing, pangguratan, pangguritan, pangwaleran, pangwatesan. Satapak Hya(ng) Bra(h)ma Wisnu, basa ngawatesan bwana. Yata siksa kurung ngaranya.
Siksa kurung mah, saréngkak saparipolah jeung para pandita. Jeungna deui hanteu hadé ngaganggu naon nu geus disapukan babarengan, ngarempak sanghyang siksa. Lamun enggeus mikanyaho sagala buku dina gulungan-gulungan (kitab), hukuman tina arah nu geus ditangtukeun, guratna, susunanna, jawabanna, watesanana. (Hartina urang geus) nuturkeun tapak Dewa Brahma jeung Wisnu, nalika ngawatesanan alam dunia. Nyaéta nu disebut siksa kurung téh.

Na siksa dapur ma ngara(n)na, ngadapetkeun puhun, ngahusir tangkal ku geui(ng) na bakti satia, di sang pandita. Ya siksa dapur ngara(n)na. Nihan sinangguh siksa kandang, ngaranya ling maha pandita.
Ari nu disebut siksa dapur mah, ngahontal sumberna, meunangkeun inti ku kasadaran kana bakti jeung satia ka sang pandita. Nya éta nu disebut siksa dapur. Nya ieu nu yang disebut siksa kandang, piwuruk ti Maha Pandita.

3 – Dasawredi52
Niha/6r/ n kayatna-yatna sang séwaka darma, pawuitan sanghya(ng) sastra, mala murtinya nguni, katekan mangké.
Ieu nu kudu diperhatikeun ku nu ngabdi kana darma, asal usul tulisan suci, wangun cedana ti baheula, nepi ka kiwari.
52dasawredi: nyaéta sapuluh wangun tulisan dina rupa-rupa média.

Ndah ta pawuitan sanghya(ng) sastra. Nihan lwirnya: sasurup sanghya(ng) sriwar Aditya, gumenti sanghya(ng) ratri (Nskh: ratsi). Trepti treptwa pagawé wéwa laksana. Tatwa kala Batari Durgi.53
Nya ieu asal usul tulisan suci téh. Ieu sasaruaanana: sasurupna panon poé, digantikeun ku peuting. Ngarasa sugema tur bagja sabab sagala pancén bisa kalaksanakeun. Hakékat waktu (anugerah ti ) Batari Durgi.
53batari Durgi atawa Durga téh déwi satungkebing alam.

A(ng)regu ta jantra Sri Batara Gana,54 sina(m)buratkeun ri(ng) manusa madyapada, matemahan ta ya gebang lawan lwa(n)tar, tipuk diwasa pupus gebang lawan lwa(n)tar. Tinut pinada pada, lwané lawan dawané, tinitisan asta gangga wira tanu.
Hasil tina benduna Sri Batara Gana, nu nyalabarkeun manusa di madyapada. Ngajadikeun gebang jeung lontar, ngajadikeun témbong waktuna pupus, gebang katut lontar. Dituturkeun tur diturutan, rubakna katut panjangna, dititisan asta gangga wira tanu.
54Sri Batara Gana (Ganésa): tina Ganapati (gana= gajah; pati = pamingpin), ku sabab wujud sirahna mangrupa gajah.

Apa ta sinangguh (asta) gangga wira tanu? Asta ngaraning tangan, gangga ngaraning bañu, wira ta ngaraning panurat lawan panuli, tanu ngaraning mangsi.
Naon saenyana asta gangga wira tanu téh? Asta hartina leungeun, gangga hartina cai, wira hartina kalam jeung koas, tanu hartina mangsi.

Tinulis dé sa(ng) pandita, pinaca dé sang apunggung /6v/ tambah uni uningana, winaleran55 dé sang kawi.56
Ditulis ku sang pandita, dibaca ku nu bodo (sangkan) nambahan pangaweruhna, diuger ku sang kawi.
55winaleran: diwatesan, diuger.
56sang kawi: bujangga.

Nguniwéh cinaritakeun ta dasapurwa.57
Saperkara dicaritakeun dasapurwa.
57dasapurwa: 10 awal.

ONG Swaraswati58 Tarajñana Cintamanik! Katuna ma ta na bayu, pamutyan Batara Guru, batara sang sida panta titira lemah, sang sida pandata tita(h) ring langit, Kusika Garga Méstri Purusya Pata(ñ)jala, mwang bayu sabda hdap,59 nguniwéh ikang sang manwan,60 apan sang hya(ng) itung ika.
Ong swaraswati Tarajnana sang mutiara pikiran! Kakurangan ayana dina tanaga. Tempat mutiara (ayana di) Batara Guru, batara ti golongan nu sampurna utusan lemah, sang pandita nu sampurna utusan langit: Kusika, Garga, Mestri, Purusya, Patanjala; ogé bayu, sabda, jeung hedap; kitu deui Sang Manon, sabab Anjeunna nu nyieun balitungan.
58Swaraswati (Saraswati) téh déwi pangaweruh jeung kawijaksanaan dina kapercayaan Hindu. Dina kitab-kitab Purana, déwi Saraswati téh saktina (pamajikanna) déwa Brahma. Rupana déwi Saraswati téh: geulis, kulitna beresih, sipatna daréhdéh deuih. Raksukan nu dianggona sarwa bodas ngaplak bari lungguh dina kembang padma (taraté). Pananganna aya opat, masing-masing nyepengan: wina (kacapi), aksamala (tasbéh), damaru (kendang leutik) jeung pustaka (buku/koropak lontar).
59bayu sabda hdap: bayu (napas); sabda (ucap); hdap/hedap (pikiran).
60sang manwan/sang manon: Nu Maha Ningali.

4 – Dasamala
Nihan ta muwah sinangguh dasamala61 ngaranya, nihan silwakanya: “wigatah mala duken, kurwanti kusalah mahat, gawayaken sutem citem, budi hiyeum maguh narakem, Kananga taka ri kita, sami batang marakarma. /siloka 2/
Ieu ogé nu disebut dasamala. Nya ieu silokana: “Indit tina kasangsaraan, nepika jadi jalma nu suci, Milampah niat nu hadé. Budi goréng tempatna di naraka, Anjeun lir ibarat kembang kananga, (jeung) catang sami nu katalangsara. /siloka 2/
61dasamala: 10 céda atawa sapuluh kaayaan kotor dina diri manusa, nyaeta: sukta; baya; tandri; kalédra; laña; ragastri; paladarah; baksya bwajñana; jeung kutila wiwéka.

Yan datang ri kita, mara[g]karma, ngaranya: sukta, baya, tandri, kaléd[r]a, (laña), ragastri, paladarah, bak/12v/sya bwajñana, kutila, wiwéka.
Sabab geus datang ka aranjeun, paripolah jahat, nu disebut: sukta, baya, tandri, kaléda, lanya, ragastri, paladarah, bak/12v/sya bwajñana, kutila, miwédéka.

Ka: sukta62 ngaranya, beuki héés, kalipikeun mitañakeun pirampéseun, deungeun na piutamaeunnana swarangan, kalipian miguna na ngeunah tineung, deung micarék na rampés di nu réya, yata sinangguh sukta ngaranya.
Maksudna, nu disebut sukta téh, beuki héés, mopohokeun pikeun nanyakeun perkara nu mawa kahadéan, ogé dina perkara nu panghadéna pikeun dirina. Poho pikeun milampah hiji perkara kalawan pikiran nu alus, jeung ngomongkeun kahadéan ka jalma réa. Éta nu disebut sukta téh.
62sukta: poho.

Baya63 ngaranya, bwarang mitañakeun manéh, bwarang naña ja ngarasa manéh kwalwat, bwarang micarék na rampés, yata baya ngaranya.
Baya hartina, sieun tatanya ngeunaan kaayaan dirina sorangan, sieun tatanya sabab ngarasa dirina kolot, sieun nyarita perkara kahadéan, nya éta nu disebut baya téh.
63baya: sieun.

Tandri64 ngaranya, mumulan naña ja ngarasa manéh ireg, mumul miguna na ngeunah hdap deungeun micarék na rampés ka nu réya, ya tandri ngaranya.
Tandri hartina, teu daék tatanya da ngarasa dirina bodo, mumul barang gawé kalawan niat nu hadé, kitu deui mumul nyarita perkara kahadéan ka nu lian, nya éta nu disebut tandri téh.
64tandri: mumul.

Kaléda65 ngaranya, takut miguna na ngeunah tineung ka nu réya, takut mitañakeun manéh, ya kaléda ngaranya.
Kaléda hartina, sieun milampah hiji perkara kalawan pikiran nu hadé ka nu lian, sieun nanya perkara dirina sorangan, nya éta nu disebut kaléda téh.
65kaléda: asa-asa.

Laña66 ngaranya, supen naña ja ngarasa manéh ireg, supen bakti ja ngarasa manéh kwalwat, supen bakti ja ngarasa manéh beu(ng)har, /12r/ (ya)ta laña ngaranya.
Lanya hartina, hésé tatanya sabab ngarasa dirina bodo, hésé ngabakti tina rumasa dirina kolot, hésé ngabakti sabab rumasa dirina beunghar ku pakaya. Nya éta nu disebut lanya.
66lana/lanya: sulit, hésé.

Ragastri67 ngaranya, bwagwah dék suka swanita deung hayang dék beu(ng)har, ragastri ngaranya.
Ragastri hartina, kagégéloan ku wanoja, ogé upama hayang jadi jelema beunghar. Nya éta nu disebut ragastri.
67ragastri: nafsu.

Paladarah68 ngaranya, hayang di rara hulanjar, astri larangan sakalih, ya paladarah ngaranya.
Paladarah hartina, mikahayang awéwé nu geus dicangcang, pamajikan larangan batur, nya éta nu disebut paladarah téh.
68paladarah: nafsu ka awéwé.

Baksya bwa(j)ñana69 ngaranya, tan hana magaway hayu, ya bwa(j)ñana, nga, bwagwah ñatu, bwagwah nginum, deung hje(?) kéna kabeukina dituwukan na sadrasa, yata baksya bwa(j)ñana ngaranya.
Baksya bwajñana hartina, teu daék milampah kahadéan, baksya bwajñana ngaranna. Beuki dahar, beuki nginum, tina sabab kabeukina wungkul kana dahareun nu sarwa ngeunah. Nya éta nu disebut baksya bwajñana téh.
69baksya bwajnana: nafsu kana kadaharan.

Kutila wiwéka70 ngaranya, dimangké-mangké dék miguna na ngeunah hdap deungeun micarék na rampés ka nu réya.
Kutila wiwéka kasebutna, diengké-engké upama rék milampah perkara nu hadé, ogé dina nyarita nu bener ka jalma lian.
70kutila wiwéka: kaputusan licik.

Yata sinangguh dasamala ngaranya, ling sang pandita.
Nya éta nu disebut dasamala téh, ucap sang pandita.


5 – Pancaiyatna
Nihan sinangguh pañcaiyatna71 ngaranya. Ndih ya nihan silwakanya : “Akwa badwa guru suci, amara lagawame, hana pramadaswaté, na imah pari ri kita.”/siloka 3/
Nya ieu nu disebut pancaiyatna téh. Nya ieu silokana: “Akwa badwa guru suci, amara lagawame, hana pramadaswaté, na imah pari ri kita.” /siloka 3/
71pancaiyatna: 5 perkara nu kudu diperhatikeun enya-enya. Nyaéta: (1)Ulah sohor némbongkeun banda milikna di hareupeun nu kolot atawa jalma réa; (2)Henteu sura-seuri nalika ngahaturkeun sembah pangabakti; (3)Henteu dahar jeung nginum hareupeun Sang Pandita (guru); (4)Ulah api lain nalika batur ménta tulung, jeung(5)Henteu daék merhatikeun dirina sorangan ngeunaan hal nu mawa kahadéan pikeun dirina.

Ka: akwa badwa ngaranya, tan dadi ikang sang séwaka darma. Mitwannakeun kwa ba(n)danya ning hareupeun sang matuha, mangka nguni di nu réya.
Maksudna, akwa badwa téh, tacan sampurna jadi nu bakti kana hukum. Némbongkeun banda pakaya dirina hareupeun nu kolot, ogé hareupeun jalma réa.

(Am)ara lagaweg ngaranya, téka sumeuri sumarembah, hanteu ngeunah basa ñatu basa nginum, di hareupeun sang pandita.
Amara lagaweg kasebutna, nyaéta arangah-éréngéh nalika ngahaturkeun sembah. Teu hadé ogé urang barang dahar barang inum, di hareupeun sang Pandita.

Ahana premadaswaté ngaran(ya), aya ta nu dipikeun ku sakalih, kesit tungi diturutan.
Ahana Premadaswaté téh, aya nu dipikabutuh ku batur, urangna kalah gancang api lain.

Pituaheunnana, hanteu dék meunang /9v/ [minang] mitineungkeun manéh, deung hanteu dék ñ(i)yar na pirampéseunnana. Nihan sinangguh pañca-iyatna ngaranya.
Paripolahna téh, teu maliré kaayaan dirina sorangan, jeung teu daék néangan perkara nu mawa kahadéan pikeun dirina. Nya ieu nu disebut pancaiyatna téh.

6 – Dasanaraka
Nihan ta muwah sinangguh dasana(ra)ka,72 nga. Ini byaktana: ceuli, mata, irung, létah, sungut, kulit, leungeun, payu, purusa, suku.
Ieu ogé nu disebut dasanaraka. Ieu écésna: ceuli mata, irung, létah, sungut, kulit, leungeun, dubur, bobogaan, (jeung) suku.
72dasanaraka: 10 naraka. Harti dasanaraka sabenerna mah leuwih lega, nyaéta sapuluh kaayaan tina sapuluh indera (dasaindriya) anu bisa jadi cukang lantaran hiji jalma tigebrus ka naraka. Sapuluh indera nu dipiboga ku unggal jalma nyaéta: ceuli, panon, irung, létah, sungut, kulit, leungeun, dubur, purusa (bobogaan), jeung suku anu teu dimangpaatkeun dina kahadéan, tapi dipaké milampah jahat.

Ka: ceuli ngara(n)na, mulah salah déngé, téréh wangwang kapireungeu. Byaktanya: ha/11v/war, cwangé, twarék, cadang. Sakitu pipapaeunnana, dina talinga.
Maksudna: nu ngaranna ceuli, ulah salah déngé, gancang hariwang tina naon nu kadéngé. Balukarna: hawar, congé, torék, cadang. Sakitu nu matak sangsara tina ceuli téh.

Mata ngara(n)na, mulah sajeueung jeueungna, lamun ka hula(ñ)jar sakalih, astri larangan sakalih, lamun lai(n) bwaga urang. Byaktana ma: pécak, bwalwar, putikeun, céang, buta lwarongeun,73 mata kwatwakeun, bilas susuheun. Sakitu pipapaeunnana, di mata.
Panon ulah saténjo-ténjona, upama ka hulanjar batur, istri larangan batur, lamun lain milik urang. Balukarna mah: pécak, bolor, putikeun, céang, buta lorongeun, mata kotokeun, bilas susuheun. Sakitu nu ngajadikeun sangsara dina mata.
73buta lwarongeun: buta lorongeun (kiwari buta rorongeun).

Irung ma ngara(n)na, geura bwagwah saa(m)beu-a(m)beuna, lamun ngambeu [ki] ku biuk hapeuk ku biuk ku hañir, ku hangit, téka dipaké bumaresin, ngahubus. Byaktana ma, mékmék. Sakitu pipapaeunnana dina irung.
Nu disebut irung, resep dipaké saambeu-ambeuna, upamana ngambeu bau hapeuk bau hanyir, hangit, éta laju kalah bersin atawa ngahubus. Balukarna mah: mékmék. Éta nu matak sangsara dina ceuli téh.

Létah ma ngarasa, geura bwagwah sarasa-rasana, lamun ku bira ku tiis, ku bacin, ku haseum ku lada, ku pangsét, téka dipaké usuh-asahan. Byaktana ma: pireu, pétal cadél. Sakitu /11r/ pipa(pa)eunana, di létah ngara(n)na.
Létah mah ngarasa, resep sarasa-rasana, ku rasa bira atawa tiis, ku asin, haseum, ku lada, ku pangsét, éta laju dipaké asal ngasaan. Éta nu matak sangsara dina létah téh.

Sungut ma ngara(n)na, bwagwah dipaké kumapang-kapang, héngan dipaké sacarék-carékna, mangka nguni dipaké ñumpah madahkeun, ngajak ngapus ka sakalih. Byaktana ma: swa(m)béng, béngwa, deda. Sakitu pipapaeunana, di sungut.
Nu disebut sungut, sok dipaké ngomong kaleuleuwihi, ngan dipaké sacarék-carékna, ogé dipaké nyumpahan tur nuduh, atawa ngajak nipu ka batur. Balukarna mah: suing, béngo, deda. Éta nu ngajadikeun sangsara, di sungut.

Kulit ma ngara(n)na, bwagwah saprasa-prasana, lamun ku panas ku tiis, ku mérang ku ateul, dipaké gulanggaséhan. Byaktana ma: tibar, bisul, bwalwangeun, radang, kuris béang, saukar balas galigata. Sakitu pipapaeunana, di kulit.
Nu ngaranna kulit, sok dipaké asal ngarasa, upama keuna ku panas jeung tiis, ku mérang ku ateul, dipaké gulinggasahan. Balukarna mah: tibar, bisul, bolongeun, radang, kuris, béang, kaasup balas galigata. Sakitu nu nyababkeun kasangsaraan dina kulit téh.

Leungeun ma ngara(n)na, bwagwah dipaké sacokot-cokotna, manguni bwaga sakalih, ka tataneman sakalih, sañarah dipaké meureup newek, nwatwak mwakwal, nampar, ngajambak, ñiwit nga/10v/getil. Byaktana ma: kékéd ré(m)péng, bu(n)tung, kengkeng. Sakitu pipapaeunana, dina leungeun.
Nu disebut leungeun, sok dipaké sacokot-cokotna, ogé nyokot banda batur, atawa ka pepelakan batur, sumawonna dipaké meureup, newek, notok, nakol, nampiling, ngajenggut, nyiwit, nyintreuk. Balukarna mah: kékéd, rémpéng, buntung, kengkeng. Sakitu nu nyababkeun kasangsaraan dina leungeun.

Tumbung74 ngara(n)na, bwagwah sahetut-hetutna, ngising sageusan-geusanna, di pigir imah sakalih, sañarah dipaké muak. Byaktana: kabeuratan, tuju pañcar, kalingsir, uireun. Sakitu pipapaeunana, di tumbung.
Nu disebut tumbung, dipaké hitut sakarepna, ngising sangeunahna, di pipir imah batur, ogé dipaké muak. Balukarna: kabeuratan, tuju pancar, kalingsir, uireun. Sakitu picilakaeunana dina tumbung.
74tumbung: dubur.

Purusa75 ma ngara(n)na, bwagwah sakiih-kii(h)na, sañarah tu dipaké ngambah lanang wadwan, papa(ñ)jingan, kapiadi kapilañceuk, kapisuan, kapwanakan. Byaktana ma: burut pétwat, lañjwa, halang wisaya, peluh. Sakitu pipapaeunana, di (pu)rusa ngara(n)na.
Nu disebut purusa, sok dipaké sakiih-kiihna, sumawonna dipaké ngambah jajaka jeung wanoja, salingkuh, ka kapiadi, kapilanceuk, kapisuan, kapialo. Balukarna mah: burut, pétot, lanjo, halang wisaya, peluh. Sakitu picilakaeunana dina purusa.
75purusa: kelamin.

Suku ta ma ngara(n)na, bwagwah dipaké sati(ñ)cak-ti(ñ)cakna, saleumpang-leumpangna, mangka nguni lamun ngalér ngidul ngulwan ngétan, lamun titarum tipagut, tuluy /10r/ dipaké néjéh. Byaktana ma: lisuh, pateuh, añjingeun caniranan, sakitu pipapaeunana, di suku ngaranya.
Nu disebut suku, sok dipaké satincak-tincakna, leumpang sakarepna, sumawonna upama leumpang ngalér ngidul ngulon ngétan, upamana titajong, laju dipaké néjéh. Balukarna mah: lisuh, pateuh, anjingeun, caniran. Sakitu picilakaeunana dina suku.

Nihan si(n)angguh dasanaraka ngaranya, kayatnakeu(n) na sang séwaka darma, hayua pinintuhu ika.
Ieu saenyana nu disebut dasanaraka téh, nu kudu diperhatikeun ku nu ngabdi kana darma, ulah diturutan perkara anu kitu téh!.

7 – Caturpasanta
Nihan sinangguh caturpasanta76 ngaranya. Byaktanya nihan: cakrajala kuna, cakrajala paksa, cakra sabirana, cakra tarangga hahu. /20r/
Ieu saenyana nu disebut caturpasanta téh. Ieu kanyataanna: cakrajala kuna, cakrajala paksa, cakra sabirana, cakra tarangga hahu.
76caturpasanta: 4 penenang, 4 penawar.

Cakrajala kuna ma ngaranya matapwaéh,77 pamahalana ka sarira: lamur, pécak, bilas sakit mata, buta lwarongeun, mata kwatwakeun, hulag.
Cakrajala kuna nya éta matapwaéh, nu ngabalukarkeun kasangsaraan kana diri nya éta: lamur, pecak, nyeri panon, buta lorongeun, rabun ayam, rabun.
77matapwaéh: panonpoé.

Cakrajala paksa ma cai, mahalana ka sarira: gumigil panas tiris.
Cakrajala paksa nya éta cai, nu ngabalukarkeun kasangsaraan kana diri, ngadégdég panas tiris.

Cakra sabirana ma ngara(n)na angin, mahalana ma ka sarira: béang galigata, pipisisan, sing sawatek kasakit di kulit.
Cakra sabirana nya éta angin, nu ngabalukarkeun kasangsaraan kana diri: béang, kaligata, pipisisan, sakabéh jenis panyakit dina kulit.

Cakratarangga bahu ma gunung ngara(n)na, mahalana ka sarira ma: rieut hulu, neri beuteung, medu, kawayaan, sakwaéh sakit di jeba beuteung.
Cakratarangga bahu nya éta gunung, sumber kasangsaraan kana diri: rieut sirah, nyeri beuteung, kembung, kawayaan, sakabéh panyakit di jero beuteung.

Nihan sinangguh caturpasanta ngaranya, kayatnakeun sang séwaka darma, haywa ri rahasya.
Ieu saenyana nu disebut caturpasanta téh. Perhatikeun ku pengabdi darma, ulah dirahasiakeun!.

8 – Trimala
Carékna Sanghyang Tu(ng)gal: “Na naha piangeneunana, sang hya(ng) pustaka ini? Kéna karah aing dék ngab(e)jalkeun carita, metuna sanghya(ng) siksa guru,78 ti sanghya(ng) siksa.”79
Carékna Sang Hyang Tunggal: “Naon atuh lenyepaneunana, tina ieu buku suci téh? Ah, sababna alatan kami dék ngagelarkeun carita, gelarna sanghyang siksa guru, tina ‘sanghyang siksa’.
78sanghiang siksa guru: ajaran suci guru.
79sanghiang siksa: ajaran suci.

[Ndeh nihan sang hya trikaya madala parisuda ngaranya Trika]
Ieu pikeun babandingankeuneun.

Ini ma na timpalkeuneun, mulah dék mitemen ina sang séwaka darma. Na puhun awah-awuh, tangkal ning /14v/ papa (ka)lésa, wwit ning kaliyuga, hétu ning papa ning (na)raka. Ngara(n)na, trimala,80 guna.
Ulah dék ngukuhan nu kitu wahai nu ngarabdi kana darma! Tanwandé jadi sumber tina bancang pakéwuh, sumber tina/14v/ kasangsaraan tur kahinaan, awal tina jaman burakrakan, cukang lantaran kasangsaraan di naraka. Éta disebutna téh, trimala, (dina) laku lampah.
80trimala: 3 kaayaan kotor, museurkeun pangajaranana kana: ucap (sabda); lampah (ulah); jeung tékad (ambek) nu aya dina diri manusa.

Nihan lwirnya: ika sinangguh trimala ngaranya, kadyangganing gangsa lawan malam, tambaga lawan timah. Apa ta kangken tambaga lawan timah?
Nya ieu wujudna téh. Ieu nu disebut trimala, lir ibarat gangsa jeung lilin, tambaga jeung timah. Naon nu diibaratkeun tambaga jeung timah téh?.

Ning kang tridusta:81 (sabda tan yukti), ulah tan yukti, ambek tan yukti. Ginawayaken sabda mahala,82 ulah mahala,83 ambek mahala.84
Ieu tridusta téh: ucapan nu teu merenah, paripolah nu henteu merenah, maksud nu teu merenah. Ngalakukeun ucapan nu jahat, laku lampah jahat, maksud nu jahat.
81tridusta: 3 kajahatan.
82sabda mahala: ucapan jahat.
83ulah mahala: laku lampah/paripolah jahat.
84ambek mahala: maksud jahat.

Ini byaktana, ulah mahala: notok mokol, newek meureup, ngadeudeul, no(n)jok nakétro(k), nampar na(m)pélang, sakwéh ning lekas tangan, ya ulah mahala, nganya.
Ieu tegesna ulah mahala: notok, nakol, newek, meureup, neunggeul, nonjok, neunggarkeun, nampiling, jeung sakur laku lampah tina hampangna leungeun, nya éta nu disebut ulah mahala téh.


Sabda mahala ngara(n)na: torong gasong tanpa karana, campe(la)k sabda, numpah madahkeun, ngadudu, neluh, ngupat guru, sakwa(é)h ning sabda tan yukti, ya sabda mahala ngaranya.
Nu disebut sabda mahala: nuduh jeung nyarékan tanpa sabab, ngalélécé dina omongan, nyumpahan sarta moyok, nyela, neluh, ngupat guru, katut sakur omongan nu teu pantes, nya éta nu disebut sabda mahala téh.

Ambek mahala ma ngaranya: kira-kira, budi-budi, ngajerum, ngagunaan, mijaheut[a]/14r/[t]an, nganeluh, ngaracun, hiri paywagya. Ageus ma nu mupu maling papa(n)jingan[a] méda rungahadang. Sing sawatek tan ywagya, dipitwah dipih(e)dap, ya éta ambe(k) mahala.
Nu disebut ambek mahala: ngira-ngira, nipu, mitnah, nyihir, nganyenyeri ati, neluh, ngaracun, hiri dengki jeung goréng sangka. Kitu deui nu ngala pepelakan batur, maling, asup tanpa idin, napsu pikeun ngarogahala. Sakur nu henteu pantes dilakonan sarta diniatan, nya éta nu disebut ambek mahala téh.

Yata sinangguh trimala ngaranya. Nihan sinangguh trimala wisésa85 ngaranya. Hana ya di sang prabu, rama, resi, mwang tarahan.
Nya éta nu disebut trimala téh. Nya ieu nu disebut trimala wisésa. Ayana di sang prabu, rama, resi jeung tarahan.
85trimala wisésa: 3 ceda dina kakawasaan.

Ini byaktana, aya ta kajeueung nu duka, dijual dihulunkeun, dirampas dipihehan. Yata sinangguh panca kapataka86 ngaranya, sinangguh truma(la) wisesa ngaranya, ling sang pandita.
Ieu écésna mah: aya nu katingali keur susah, kalah dijual dijieun budak beulian, atawa dirampas jeung dipaéhan. Nya éta nu disebut pancakapataka, disebut ogé trimala wisésa. omongan Sang Pandita.
86panca kapataka: 5 kasangsaraan.

***