Selasa, 30 Juni 2015

Gugus Depan Gerakan Pramuka



Gugus Depan merupakan suatu kesatuan organik dalam Gerakan Pramuka, wadah untuk menghimpun anggota Gerakan Pramuka sebagai peserta didik dan Pembina Pramuka, serta berfungsi sebagai pangkalan keanggotaan peserta didik. Gugus Depan dapat dibentuk di lembaga pendidikan umum, di lembaga pendidikan keagamaan, di RT/RW, dan perwakilan RI di luar negeri. Gugus Depan dibedakan menjadi: Gugus Depan Lengkap, Gugus Depan Tidak Lengkap, dan Gugus Depan Luar Biasa.
Anggota Gerakan Pramuka Gudep 01163-01164, Pangkalan SMP Negeri 2 Garut.

Gugus Depan (GUDEP)
Gugus Depan –disingkat Gudep adalah suatu kesatuan organik dalam Gerakan Pramuka yang merupakan wadah untuk menghimpun anggota Gerakan Pramuka sebagai peserta didik dan Pembina Pramuka serta berfungsi sebagai pangkalan keanggotaan peserta didik. Anggota Gerakan Pramuka yang berkedudukan sebagai: peserta didik; Pembina Pramuka; dan anggota Majelis Pembimbing Gugus Depan (Mabigus), dihimpun dalam Gugus Depan.
Secara umum, Gugus Depan dibentuk berdasarkan wilayah –biasa disebut sebagai Gugus Depan Wilayah. Gugus Depan Wilayah ini, dapat dibentuk dan berpangkalan –bertempat di:
1.    Lembaga Pendidikan Umum, seperti: Sekolah dan Perguruan Tinggi;
2.    Lembaga Pendidikan Keagamaan, seperti: Pesantren dan Gereja;
3.    Instansi Pemerintah dan Swasta –termasuk komplek perumahan pegawainya;
4.    Kelurahan/Desa, Rukun Warga (RW) atau Rukun Tetangga (RT);
5.    Perwakilan Negara Republik Indonesia di Luar Negeri.
Setiap Gugus Depan tersebut, berkewajiban untuk menerima kaum muda –anak berusia 7-25 tahun yang bertempat tinggal di sekitar wilayah tersebut sebagai anggota, tanpa membedakan: suku; agama; ras; dan antargolongan (SARA). Sebagaimana yang dimaksudkan dalam sistem satuan terpisah, anggota putera dan anggota puteri dihimpun dalam Gugus Depan yang terpisah, dimana masing-masing Gugus Depan berdiri sendiri. Gugus Depan di dalam negeri, dibina oleh Kwartir Ranting (Kwaran) –kecuali Gugus Depan di Perguruan Tinggi, yang dibina oleh Kwartir Cabang (Kwarcab). Sedangkan Gugus Depan di luar negeri, dibina oleh Kwartir Nasional (Kwarnas).
Ditinjau dari kelengkapan satuannya, Gugus Depan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu: Gugus Depan Lengkap dan Gugus Depan Tidak Lengkap. Gugus Depan Lengkap adalah Gugus Depan yang terdiri atas: satu Perindukan Siaga, satu Pasukan Penggalang, satu Ambalan Penegak, dan satu Racana Pandega. Gugus Depan Tidak Lengkap, mengingat situasi dan kondisi, dimungkinkan sebuah Gugus Depan hanya terdiri atas satu atau dua golongan peserta didik. Misalnya, hanya mempunyai Perindukan Siaga atau hanya mempunyai Ambalan Penegak. Gugus Depan Tidak Lengkap dimungkin mempunyai dua sampai lima satuan untuk setiap golongan peserta didik, seperti: mempunyai lebih dari satu Pasukan Penggalang.
Di samping Gugus Depan di atas, terdapat juga Gugus Depan yang mengakomodasi anggota Pramuka berkebutuhan khusus, yaitu: Gugus Depan Luar Biasa (Terpadu dan Inklusif). Gudep Luar Biasa adalah Gugus Depan yang dibentuk untuk anggota Gerakan Pramuka yang menyandang cacat jasmani atau cacat mental. Gugus Depan Terpadu; yaitu Gugus Depan biasa yang sebagian anggota Pramukanya penyandang  cacat fisik. Gugus Depan Inklusif; yaitu Gugus Depan biasa yang sebagian anggotanya mengalami gangguan emosi, perilaku, dan sosial.

Tanda Pengenal Gugus Depan
Sebagai tanda pengenal, Gugus Depan menggunakan nomor. Gugus Depan putera menggunakan nomor ganjil, sedangkan Gugus Depan puteri menggunakan nomor genap. Pemberian nomor Gugus Depan ini, diatur oleh Kwartir Cabang –kecuali untuk Gudep luar negeri yang pengaturannya dilakukan langsung oleh Kwartir Nasional. Selain menggunakan nomor Gugus Depan –sebagai pengenal Gudep, dapat juga menggunakan: nama pahlawan; tokoh masyarakat; tokoh dalam cerita rakyat; nama tempat yang bersejarah; nama benda-benda di jagat raya –yang memiliki keistimewaan seperti galaksi dan sebagainya yang dapat memotivasi kehidupan Gugus Depan-nya.
Struktur Organisasi Gugus Depan lengkap –berdasarkan lampiran SK Kwarnas Nomor 231 Tahun 2007, adalah sebagai berikut:

Struktur Organisasi Gugus Depan
Sebagaimana lampiran Keputusan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Nomor 231 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Penyelenggaraan Gugus Depan Gerakan Pramuka –sebelumnya Gugus Depan, termasuk Struktur Organisasi Gugus Depan, diatur melalui Keputusan Kwarnas Nomor  137 Tahun 1987, struktur organisasi Gugus Depan terdiri atas komponen-komponen yang antara lain:
1.    Majelis Pembimbing Gugus Depan (Mabigus). Mabigus adalah suatu badan dalam Gugus Depan yang memberi: bimbingan; bantuan moril; organisatoris; material dan finansial; serta konsultasi kepada Gugus Depan yang bersangkutan. Mabigus, terdiri atas: unsur-unsur orangtua peserta didik; tokoh-tokoh masyarakat di lingkungan Gugus Depan yang memiliki perhatian dan rasa tanggungjawab terhadap Gerakan Pramuka. Susunan Mabigus, terdiri atas: seorang Ketua; seorang Wakil Ketua; seorang Sekretaris; seorang Ketua Harian –apabila diperlukan; dan beberapa orang Anggota. Ketua Gugus Depan, secara ex-officio merupakan anggota Mabigus. Ketua Mabigus, dipilih diantara anggota Mabigus yang ada. Mabigus bersidang sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan. Rapat koordinasi dan konsultasi antara Mabigus dengan Pembina Gugus Depan, diadakan sekurang-kurangnya sekali dalam empat bulan.
2.    Ketua Gugus Depan. Ketua Gugus Depan dipilih dari salah satu Pembina Pramuka yang ada dalam Gugus Depan yang bersangkutan, pemilihannya dilakukan saat Musyawarah Gugus Depan.
3.    Pembina Gugus Depan. Pembina Gugus Depan, terdiri atas: Ketua Gugus Depan dibantu oleh Pembina Satuan dan Pembantu Pembina Satuan yang dimiliki Gugus Depan tersebut.
4.    Tim Pembina Satuan, terdiri atas: Tim Pembina Perindukan Siaga, Pasukan Penggalang, Ambalan Pandega, dan Racana Pandega. Tim Pembina Siaga terdiri atas satu orang Pembina Siaga dibantu oleh tiga orang Pembantu Pembina Siaga. Tim Pembina Penggalang terdiri atas satu orang Pembina Penggalang dibantu oleh tiga orang Pembantu Pembina Penggalang. Tim Pembina Penegak terdiri atas satu orang Pembina Penegak yang dipilih oleh Majelis Penegak dibantu satu atau dua orang Pembantu Pembina Penegak. Racana Pandega dibina oleh seorang Pembina Pandega dan bila perlu dapat dibantu oleh satu orang Pembantu Pembina Pandega atau lebih sebagai konsultan dan narasumber ahli.
5.    Perindukan Siaga, Pasukan Penggalang, Ambalan Pandega, dan Racana Pandega. Sebuah Gugus Depan, bisa jadi memiliki: Perindukan Siaga; Pasukan Penggalang; Ambalan Penegak; dan Racana Pandega sekaligus. Gugus Depan seperti itu disebut Gugus Depan Lengkap. Namun, ada pula yang hanya memiliki beberapa atau bahkan satu saja, semisal hanya memiliki Perindukan Siaga dan Pasukan Penggalang, atau bahkan hanya memiliki Pasukan Penggalang saja. Gugus Depan seperti itu disebut Gugus Depan Tidak Lengkap. Perindukan Siaga, idealnya terdiri atas 18-24 anggota Pramuka Siaga. Anggota tersebut dibagi menjadi 3-4 Barung, dengan jumlah anggota ideal untuk setiap barung adalah 6 Pramuka Siaga. Jika jumlahnya melebihi, dapat dibentuk perindukan baru. Pasukan Penggalang idealnya terdiri atas 24-32 anggota Pramuka Penggalang, anggota tersebut dibagi dalam 3-4 Regu dengan jumlah anggota ideal untuk setiap regu adalah 6-8 Pramuka Penegak. Jika jumlahnya melebihi, dapat dibentuk pasukan baru. Ambalan Pandega idealnya terdiri atas 12-32 anggota Pramuka Penegak, anggota tersebut dibagi dalam 3-4 Sangga dengan jumlah anggota ideal untuk setiap sangga adalah 4-8 Pramuka Penegak. Jika jumlahnya melebihi, dapat dibentuk ambalan baru. Racana Pandega paling banyak terdiri atas 30 Pramuka Pandega, anggota tersebut tidak dibagi dalam kelompok kecil.
6.    Dewan Kehormatan Gugus Depan. Dewan Kehormatan Gugus Depan merupakan badan tetap yang dibentuk oleh Pembina Gugus Depan sebagai badan yang menetapkan: pemberian anugerah; penghargaan; dan sanksi. Dewan Kehormatan beranggotakan lima orang, yang terdiri atas: unsur Anggota Majelis Pembimbing Gugus Depan; Ketua Gugus Depan; dua orang Pembina Satuan; dan Dewan Penegak atau Dewan Pandega –apabila diperlukan. Susunan Dewan Kehormatan Gugus Depan, terdiri atas: Ketua Dewan Kehormatan –otomatis dijabat oleh Ketua Gugus Depan,  Wakil Ketua, Sekretaris, dan dua orang Anggota.
7.    Badan Pemeriksa Keuangan Gugus Depan. Badan Pemeriksa Keuangan Gugus Depan adalah badan independen yang dibentuk oleh Musyawarah Gugus Depan, dan bertanggungjawab kepada Musyawarah Gugus Depan. Susunan Badan Pemeriksa Keuangan Gugus Depan, meliputi: Ketua; Wakil Ketua; Sekretaris; dan beberapa orang Anggota.


***

Keurseus Ngaronggeng



Mangsa bihari mah, upama lalaki hayang jumeneng jadi gegeden atawa pangagung, salahsahiji saratna nya éta: kudu bisa ngibing. Ku lantaran kitu, loba anu ngiluan ibing keurseus nya éta latihan ngibing Sunda anu diayakeun di Pendopo anu lolobana diiluan ku kaom ménak; bangsawan; atawa kaom priyayi. Kitu deui keur wanoja, mangsa bihari mah pahayang-hayang jadi ronggéng. Sabab, hiji wanoja nu kapilih jadi ronggéng, saratna kudu nyekel tilu katangtuan atawa pakem, nya éta: winara rékaswara; winara rékaningceta; jeung winara rékawacana. Wanoja anu geus diaku ronggéng, hartina éta wanoja geus boga kahormatan anu luhur.
Bupati Garut RAA Soeria Kartalegawa (palih tengen, acuk bodas), nuju ngibing tayuban.

Ibing Keurseus
Nitenan ibing Sunda di wewengkon Jawa Kulon, kaitung réa jeung euyeubna. Henteu matak hélok, mun sakumna urang Sunda mikareueus turta mikaresep kana kabeungharan ibing di Tatar Sunda. Ku kacida beungharna seni ibing Sunda, ku para-inohong sok diwilah-wilah jadi génré tari saperti: ibing tayub; ibing penca silat; ibing keurseus/kursus; ibing wayang; ibing topéng; ibing ra’yat (ketuk tilu, bangréng, bajidoran, jeung sajabana); ibing karya R. Tjétjé Somantri; ibing karya R. Nugraha Sudireja; ibing karya R. Enoch Atmadibrata; tug nepi ka kiwari aya nu disebut ibing jaipongan yasana Gugum Gumbira.
Ibing Keurseus, mangrupa basa injeuman ti Walanda nu asal kecapna tina: “cursus” –palatihan atawa pangajaran. Duka teuing kumaha mimitina, éta kecap cursus téh bisa jadi: keurseus. Meureun, salah déngé atawa hésé ngucapkeunana. Anéhna téh, éta kecap keurseus geus jadi milik basa urang Sunda nu baku. Mangsa jaman Walanda harita, lamun karuhun urang ditanya: “Badé angkat kamana.. ?”. Jawabna, cukup ku nyebut: “Badé keurseus.. !” bari nuduhkeun ku jempol. Kabéh jalma, pasti geus surti yén maksudna téh nya éta: “rék ngibing”.
Ibing keurseus téh nya éta latihan ngibing Sunda anu diayakeun di pendopo nu lolobana diiluan ku kaom ménak; bangsawan; jeung kaom priyayi Priangan jaman Walanda. Ibing keurseus mangrupa salahsahiji ibingan kamonésan kaom priyayi nu diayakeun di pendopo. Perelu diingetkeun, yén saméméh ibing keurseus gumelar téh aya anu disebut ibing tayub –tayub asal tina kecap “guyub”, anu hartina: ngibing bareng. Bisa jadi, kasangtukangna ibing keurseus téh taya lian tina ibing tayub. Sabab, ibing tayub mangsa harita, mangrupa ibingan “kalangenan” paraménak. Dina waktu luang atawa nyalsé, kaom ménak Priangan téh osok ngabandungan mangrupa-rupa kasenian Sunda –tangtuna ogé, kaasup ibing tayuban anu diayakeun di pendopo. Mangsa harita, upama hayang jumeneng jadi gegedén atawa jadi pangagung, saratna euweuh deui: kudu bisa ngibing.
Anu dianggap palopor ibing keurseus, nya éta: R. Gandakoesoemah –Aom Doyot, Camat Leuwiliang Bogor mangsa harita. Anjeunna ningali, yén ibing tayub anu keur dipikalandep mangsa harita, kalan-kalan osok “kaleuleuwihi” jeung méngpar tina kasusilaan. Tayuban anu mangrupa hiji bentuk ibing pasangan, nu sipatna hiburan pikeun kaom lalaki, dina prak-prakanana teu wudu ogé aya inuman keras –arak. Munasabah atuh, sanajan inuman téh diparake keur “ngahaneutan awak” –mun peuting ngarasa tiris antukna osok aya nu mabok leupas kontrol. Malahan, gerak ibingna ogé jadi teu pararuguh –sok disebut ngibing saka (saka-inget, meureun). Teu matak hélok, mun ronggéng anu jadi sasaran. Aya kalana ngasupkeun duit pamasak téh, punten, kana dada atawa kutang ronggéng. Ku lantaran kitu, R. Gandakoesoemah ngarintis ibing tayub anu tartib jeung sopan. Ahirna, janggélék wéh jadi ibing keurseus. Susunan jeung patokan ibing keurseus, laju ditingkatkeun deui ku R. Sambas Wirakoesoemah –Lurah Rancaékék mangsa harita sangkan leuwih gampang disebarluaskeun. Ieu ibingan, ku anjeunna diajarkeun di cursusan Pakumpulan Tari Wirahma Sari –Rancaékék Bandung jeung di sakola pangréh praja –ménak/priyayi Priangan.
Nempo kana gerak-gerak anu dipaké atawa dipidangkeun ku pangibing, éstu basajan pisan, da tujuanana ogé keur hiburan. Teu kawengku ku pola baku, gumantung kana karesepna masing-masing. Najan kitu, ampir sakabéh pangibing bisa dipastikeun aya anu midangkeun gerak-gerak: bukaan; adeg-adeg; jangkung ilo; mincid; keupat; éngké gigir; galayar; sila mando; baplang; gedig; tindak tilu; léngkah opat; sembahan; selut; jeung gerak baksarai.
Ibing keurseus ogé ngabogaan tingkatan embat atawa témpo masing-masing, saperti: lelenyepan atawa lenyepan –témpona lambat sarta ngabogaan watek lungguh; monggawa –témpona sedeng sarta ngabogaan watek gagah; jeung nyatria –témpona gancang sarta ngabogaan watek lanyap. Tingkatan ieu, gumantung kana wirahma kawih  sindén –ronggéng atawa waditra anu dipaénkeun ku nayaga. Keur lenyepan, biasana ngagunakeun gending: Sulanjana; Udanmas; jeung Banjarsinom. Keur monggawa, biasana ngagunakeun gending Bendrong jeung Panglima. Keur nyatria, biasana ngagunakeun gending Gawil jeung Kakacangan. Gamelan anu dipaénkeun, nya éta: laras pélog atawa saléndro. Sedengkeun pakéan pangibing, umumna sarua jeung pakéan dina ibing tayub. Mangrupa pakéan ménak modél takwa tutup, atawa modél parangwadana –jas buka. Sinjang anu dipakéna, ngagunakeun motip kaén batik Priangan atawa Cirebonan. Keris, biasana mah diselipkeun dina cangkéng ditukangeun sodér –karémbong. Sodér ieu, panglobana digunakeun dina gerak sépak sodér. Sedengkeun keur tutup sirahna, maké iket lohen –polontosan atawa bendo citak anu dihiasan ku bros.

Ronggéng
Kecap ronggéng, sabenerna mah lain kecap anyar. Ti baheula mula –cenah mah saméméh karajaan Pajajaran aya ogé, ronggéng mah geus dipikawanoh. Propési ronggéng, lain propési anu “samanéa”. Teu sagawayah, jeung teu sabongbrong jadi ronggéng. Teu kucup ku rupa geulis, atawa pangawakanna kudu hadé wungkul. Cara ngahormat, cukup ku neueulkeun leungeun kana dada –jadi, ngalarapkeun aturan-aturan anu ngalarang ayana kontak pisik langsung antara ronggéng jeung nu ngigelanana. Aturan ieu téh diayakeun, sangkan teu aya anggapan masarakat yén ronggéng idéntik jeung “awéwé purah ngagoda lalaki”. Hiji wanoja anu milih atawa kapilih jadi ronggéng, kudu nyekel tilu pakem/katangtuan, nya éta: Winara Rékaswara –kudu percéka dina ngolah sora, naha ngawih naha mamaos; Winara Rékaningceta –kudu percéka dina ngolah gerak awak atawa ibing; jeung Winara Rékawacana –kudu wijaksana dina cacarita jeung dina nyusun ungkara basa, ulah teu sopan (jajauheun tina centil mah). Upama alus sora; alus ngibing; jeung sapopoéna andalemi tur boga tata-titi duduga peryoga, nya lulus jadi ronggéng. Hartina, anu katarima jadi ronggéng mah nya éta anu lulus dina kamampuh ngajalankeun anu tilu pasaratan téa. Ku lantaran kitu, wanoja baheula mah pahayang-hayang jadi ronggéng téh. Sabab, lamun aya wanoja anu geus diaku ronggéng, hartina éta wanoja geus boga kahormatan anu ajénna luhur.
Numutkeun buku “Déskripsi Seni Daérah” anu disusun ku H. Djadja Sukardja S, méré gambaran kumaha beuratna jadi ronggéng:
Calon ronggéng kudu kuat méntal jeung pisik sajero diajar nu lilana bisa nepi ka tilu bulan, diwulang tembang jeung diajar ngibing. Kudu kuat daya ingetna sabab guru tara ngajarkeun wawangsalan katut lagu oron ti dua-tilu peuting, cukup sapeuting kudu geus apal. Tahan kurang saré kurang dahar. Malah dina "hataman" mah ukur dibéré sangu dua huap, sagedé indung suku nu dijerona geus dicampuran ramuan, diantarana tujuh siki pedes. Sangkan sorana lepas, tina liang irung nepi ka tikoro diasupan bari digera ku akar antanan. Mun palakiah panjang napas, calon ronggéng kudu latihan teuleum di sungapan atawa walungan nu aya curugna. Malah aya katangtuan nu baku, yén salila jadi ronggéng teu meunang boga salaki atawa heureuy jeung lalaki”.


***

Senin, 29 Juni 2015

Ngagendreh di Saung Lisung



Moal sieun béakeun pipamajikaneun, salila masih kénéh trang-tring-trung lisung mah. Bujang jeung lanjang di saung lisung, tarutunggulan ngagondang bari garogonjakan sempal guyon. Silih simbeuh ku kadeudeuh, karakawihan bari nepungkeun jodo.
Kasenian Tutunggulan ti Desa Dangiang, Kacamatan Banjarwangi-Garut.

Saung Lisung
Nutu Pare di Saung Lisung
Saung lisung, lain baé tempat nutu paré tapi jadi tempat ngaraketkeun tali mimitran wargana. Saung lisung ogé mangrupakeun tempat hirup-kumbuh papada warga kampung, ngobrol bari jeung silih pikawanoh. Obrolan di saung lisung, leuwih nyoko kana obrolan dunya awéwé. Kalan-kalan, boh lanjang –parawan boh anu geus kulawargaan, sok nyaritakeun gosip-gosip sakampung anu gampang nerekab. Kalan-kalan deui, jadi tempat papanggihna mojang anu keur séngsérang panon –kakara begér, gogonjakan bari jeung silih kelétan jeung bujang –jajaka anu ngahajakeun datang. Nu matak, sok aya kacapangan: “Moal sieun béakeun pipamajikaneun, salila masih kénéh trang-tring-trung lisung mah”. Tempat saung lisung, biasana mah: di sisi kampung; di sisi sawah; atawa di sisi balong. Nu bogana, lain sosoranganan tapi masarakat kampung. Ku sabab kitu, unggal warga kampung, kabéhanana bisa maké éta lisung. Lobana saung lisung, gumantung kana legana kampung jeung lobana anu dumuk di dinya. Ngujurna saung lisung, euweuh patokanana. Kamana waé nyangirahna, disaluyukeun jeung patempatanana. Sok sanajan kitu, di masarakat Baduy, saung lisung ngujurna ngétan-ngulon –sabab di kiduleunana aya anu disebut Arca Domas, tempat nu dianggap karamat tur suci. Tujuanana, bisa jadi, pikeun anu nutu kudu nyanghareup ka Kidul. Upama nutu nyanghareup Kalér, hartina nukangan ka beulah Kidul –hal ieu dipahing pisan, ulah nepi ka nukangan tempat karamat.
Anu nutu biasana awéwé, teu kahalangan sok sanajan bari ngais budak atawa sakalian mawa ulin budak anu laleutik kénéh. Saung lisung ogé osok jadi tempat pangulinan barudak. Biasana, barudak anu geus hideng tapi acan rumaja. Arulin, bari nyieun cocooan tina bahan anu aya di sabudeuranana –utamana tina tangkal paré, sésa dibuat, dijieun empét-empétan.

Prosési Nutu
Nutu Pare bari Ngais Budak
Lisung téh hiji alat pikeun nutu paré, sangkan éngkéna robah jadi béas –lamun huutna geus kapiceun. Mangrupa alat anu pang-ahirna tina “siklus” hadirna paré, sanggeus ngaliwatan lalakon panjang anu dimimitian ti: tebar binih di pabinihan; melak paré –nyawah-ngahuma; tandur; ngarambét; tunggu; dibuat; nepi ka nyimpen paré dina leuit atawa dina peti di goah.
Lisung, dijieunna tina tangkal kai gedé anu kuat –umumna tina kai nangka. Nuar tangkal nangka pibakaleun lisung ogé teu sagawayah, kudu ngitung waktu numutkeun palintangan,  dumasar kana: “daun nu tangtu, p nu rampés.  Naptu poé nu hadé keur nuar tangkal pilisungeun, nya éta dina: naptu lima; dalapan; jeung sawelas. Tujuh kali ngaclékkeun bedog, kudu bari nahan napas. Karék dituar kalayan ati-ati. Saterusna, dipapras méh ampir jadi masagi tur manjang. Tuluy, dijieun hiji rohang pikeun tempat paré ditutu. Mun di tilik-tilik mah, wangunna siga parahu. Ukuran panjangna, teu tangtu –aya nu nepi ka dua méter satengah. Rubakna, kurang leuwih opat puluh sénti. Sakapeung, dina tungtung lisung osok aya paranti nyosoh béas –liangna, méh siga aseupan. Dina tungtung lisung, aya ogé anu sok dihias ku gegelungan. Sésa kai anu nyésa –urut nyieun lisung, osok dijieun jubleg. Di Kampung Adat Kuta Ciamis mah, saméméh lisung dipaké osok dibeungkeut ku gagantal heula. Panglay; jaringao; bawang bodas; roko; duit; jeung seureuh, ditalian ngantay ku benang kasur. Gagantal mangrupa sarat keur lisung nu anyar di jieun, tarékah sangkan lisung jeung Sripohaci ngahiji –tanda amitan kanu cicing di saung lisung  di padung halu, jeung dina hulu lisung. Hakékatna mah: syukuran tina panén wekasan, jeung paré pageuh nu rék ditutu téh, sing nyari jadi diri nu hirup-hurip babakti ka nu Maha Suci.
Nutu Pare dina Jubleg
Lisung, sok dipapasangankeun jeung halu. Paré anu rék dijieun béas téh, ditutu ku halu. Di sababaraha tempat, kagiatan ieu téh sok disebut Gendréh –nya éta sesebutan kana kagiatan nutu dina lisung. Dina prosési ngalaksanakeun nutu atawa nyosoh, alatna, lain baé ngan sakadar lisung jeung halu. Aya nyiru, pikeun napi –misahkeun antara huut jeung béas; pikeun ngésoh/ngagésoh –misahkeun sérah (mangrupa paré kénéh) jeung béas; jeung pikeun nyikcrik –misahkeun beunyeur (béas anu bubuk akibat ditutu) jeung béas. Sakali nutu, tara loba, paling ogé keur nyadiakeun béas supaya kapaké nyangu sapoé atawa dua poé. Komo lamun sangu tina paré gedé jeung tina paré huma mah, najan saeutik matak ngawaregkeun. Prosési nutu leuwih didominasi ku awéwé, hal ieu teu leupas tina sikep primodialna urang Sunda anu nganggap paré téh janggélékna Nyi Pohaci Sanghyang Asri –Déwi Sri. Nu matak, sakabéh prakprakan ti mimiti melak paré nepi ka nyimpen paré, teu leupas tina upacara panghormatan ka Déwi Sri anu dianggap déwi paré. Geura wé urang tataan ngaran Pohaci anu ngaping dina mangsa paré keur dipelak:
Pohaci Terus Rarang, nu ngaping paré keur sumihung;
Pohaci Rambat Rarang, nu ngaping paré keur bijil akar;
Pohaci Léncop Hérang, nu ngaping paré keur jumarum;
Pohaci Lénggang Hérang, nu ngaping paré keur cumanggah;
Pohaci Pencar Hurip, nu ngaping paré méméh reuneuh;
Pohaci Jayang Gini, nu ngaping paré keur tungkul ngeusi;
Pohaci Ténjo Maya, nu ngaping paré keur beuneur héjo;
Pohaci Lénggok Kuning, nu ngaping paré keur konéngna.
Nutu jeung Napi, taun 1920-an.
Mangsana paré di sawah rampak beukah, panyawah lolongok bari mawa rurujakan nu disimpen dina unggal juru kotakan –minangka ciri pangbagéa ka Déwi Sri nu kakara medal. Mangsa paré beuneur héjo, biasana sok masang kokoprak di tengah sawah sarta ditalian ranteng ka saung ranggon. Salian ti éta, osok masang ogé bebegig tina baju urut bari diraragaan ku awi, dudukuyna tina haseupan urut anu geus butut. Kokoprak, ditarik ku nu tunggu di saung ranggon. Ari bebegig sawah, upama katebak ku hiliwirna angin, ting koléang lir ngabegéggan manuk piit. Mangsa paré keur konéng, rasa bagja gelarna amparan Déwi Sri ngarumbay ruhruy konéng, ruhay umyang disawang ti kaanggangan. Mangsa rék ngamimitian panén, panyawah neundeun ciri di sawah nu rék dipibuatan nu disebut: Sawendi wangun ku rupa-rupa kadaharan nu disebut: rarakaan. Panyawah, kalan-kalan osok ngajak nu rék mantuan ngala paré, nelahna nu rék Gacong –kirata tina: sasangga sapocong, ari sasangga téh sarua jeung lima pocong. Hartina, anu gacong téh sok diburuhan sapocong. Hasil paré anu dipanén, diakut ka saimah-imahna pikeun dipoé. Mun paré ranggeuyan –hasil meungkeutan sageugeus-sageugeus, diakutna ditanggungan. Lamun paré murag mah, sok diirik diwadahan kana tolombong atawa karung. Paré meunang moédimana geus garing, sok diampihan kana leuit. Paré karungan jeung paré geugeusan ogé, sok ditumpuk di jero leuit. Upama rék nyangu, kakara paré tadi ditutu di saung lisung.

***