Senin, 19 Januari 2015

Kesemek, si Apel Cikajang



Garut, merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang kaya akan sumber daya genetik tanaman dan mempunyai keunggulan spesifik. Salah satu plasma nutfah tanaman yang dapat dijumpai di Kabupaten Garut, adalah: Buah Kesemek. Kesemek bisa dikatakan sebagai buah yang paling genit dan suka berbedak, gara-gara kulit buahnya ditempeli serbuk putih. Selain itu, lantaran bentuknya mirip apel, maka di Garut, Kesemek mendapatkan julukan sebagai: Apel Cikajang. Padahal, di balik itu semua, buah Kesemek merupakan salah satu alternatif alami untuk mendapatkan tubuh sehat dan bugar. Karena, buah ini memiliki kandungan nutrisi yang tidak kalah hebatnya dengan buah apel.
Kesemek, buah geulis.

Kesemek, Buah Berbedak
Buah Kesemek atau buah Kaki –nama ilmiahnya: Diospyros kaki L.f. merupakan salah satu tanaman buah klasik yang berasal dari Cina. Kaki, dalam bahasa Jepang, adalah nama zat tanin yang dihasilkan buah ini. Dalam bahasa Inggris, Kesemek ini disebut juga sebagai The Oriental (Chinese/Japanese) Persimmon. Sedangkan di Israel, buah ini dikenal dengan nama: Sharon fruit. Dari negeri asalnya, buah Shi –dalam bahasa Cina ini diintroduksikan ke berbagai negara pada awal abad 19 atau sekitar tahun 1800-an, antara lain ke Korea dan Jepang bahkan sampai ke negara Itali, Israel, Amerika Serikat (California) dan Brazil. Di Jawa Barat –utamanya di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan, Kabupaten Garut, diperkirakan Kesemek telah ditanam di daerah ini sejak tahun 1902. Di dua kecamatan ini, pertanaman Kesemek tumbuh pada lahan kering dengan kelerengan lahan 0-40%.
Tanaman ini, pertumbuhannya lambat –mulai berbuah pada umur 8-12 tahun. Pada saat tanaman masih muda berbentuk semak, namun setelah tanaman dewasa akan tumbuh menjadi tanaman yang berbatang banyak –multitrunked/ dioesis (dioecious, berumah dua) atau berbatang tunggal –single-stemmed/monoesis. Kesemek, merupakan jenis tanaman yang menggugurkan daun/berganti daun –deciduous tree dengan tinggi tanaman sampai dengan 15 meter. Diameter batang tanaman dewasa 7,5 – 25,0 cm, dengan kulit batang yang halus. Percabangan, agak rapuh –regas dan mudah rusak –akibat angin kencang. Kesemek yang matang, berwarna antara jingga kekuningan sampai kemerahan dan berdiameter antara 2-8 cm. Jarak tanam populasi tanaman Kesemek, beragam, yakni: pada lahan dengan kelerengan landai (0-10%) antara 6-8 x 2-5 meter, sedangkan pada lahan dengan kelerengan agak curam sampai dengan curam (15-40%) antara 6-10 x 4-6 meter. Pada lahan sekitar pemukiman penduduk, tanaman Kesemek hanya dipertahankan di tepi lahan yang berfungsi pula sebagai pagar pembatas pekarangan.
Walaupun tanaman Kesemek berasal dari daerah subtropis –yakni: Cina, namun demikian, tanaman ini mampu beradaptasi dengan baik pada kisaran iklim yang memiliki suhu sedang –termasuk wilayah dataran tinggi yang berada di daerah tropis seperti di Kecamatan Cikajang, Bayongbong, dan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pertumbuhan tanaman, akan lebih baik pada wilayah dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 1.000 m di atas permukaan laut –seperti di Kecamatan Cikajang (1.300 m dpl) dan di Kecamatan Cisurupan (1.250 m dpl). Tanaman Kesemek memiliki toleransi terhadap kisaran kondisi jenis tanah, namun demikian, tanaman ini akan mampu tumbuh dan memperoleh hasil yang baik pada jenis tanah yang memiliki drainase yang baik dan dengan solum tanah dalam, tanah tidak terlalu berat, dengan pH tanah yang optimal adalah antara 5,5-6,5. Siklus pertumbuhan tanaman Kesemek pada setiap tahunnya dapat dibedakan berdasarkan pada beberapa fase, antara lain: fase gugur daun; fase pertunasan; fase pembungaan; fase pembentukan bakal buah dan buah; serta fase pemasakan/penuaan buah –antara satu fase dengan fase lainnya, ada yang terlihat dengan jelas namun ada pula yang tidak jelas.
Berdasarkan beberapa sifat morfologi pembeda, diketahui bahwa, terdapat dua kultivar tanaman Kesemek yang berkembang di daerah Garut, yakni: Kultivar Reundeu dan Kapas –berdasarkan sebutan daerah setempat. Sedangkan menurut paraahli, yang disebut kultivar “Reundeu” adalah kultivar “Eureka”, sedangkan yang disebut kultivar “Kapas” adalah kultivar “Hachiya”. Karakteristik kultivar Reundeu atau Eureka, antara lain: umumnya memiliki bentuk buah sedang-besar dengan bentuk persegi; terdapat kerutan di sekitar calyx –seludang/pangkal buah; warna kulit buah oranye; tekstur daging buah agak padat dan kering; warna daging buah kuning-oranye; fase pemasakan buah agak lama dibandingkan dengan kultivar Kapas atau Hachiya; pertumbuhan tanaman lambat; daun gugur hampir sekaligus/serentak. Sementara itu, karakteristik kultivar Kapas atau Hachiya, antara lain: umumnya memiliki ukuran buah besar dengan bentuk conical; kulit buah halus dan mengkilap berwarna oranye-tua sampai merah; warna daging buah kuning-tua; tekstur daging buah lunak (basah); rasa lebih manis dari kultivar Reundeu atau Eureka. Selain itu, Kesemek dapat diklasifikasikan kedalam dua tipe (kategori) umum, yaitu: tipe Astrinjen –Astringent Variety dan Nonastrinjen –Nonastringent Variety. Tipe Astrinjen –yang dibudidayakan di Garut, adalah tipe buah yang tidak dapat langsung dikonsumsi karena terdapat kandungan tanin yang tinggi –yang dicirikan dengan rasa kesat. Untuk dapat dikonsumsi langsung dalam bentuk buah segar, buah tipe Astrinjen ini memerlukan perlakuan pemeraman atau diolesi dengan air kapur –agar rasa sepatnya hilang. Perendaman di dalam larutan kapur yang dilakukan di dalam bak-bak perendaman pada konsentrasi larutan kapur (CaCo3) 12,5-15,0 g/liter air, dengan lama perendaman 3-5 hari –tergantung pada suhu udara lingkungan sekitarnya. Apabila suhu udara lingkungan, relatif rendah, maka waktu perendaman 4-5 hari, dan apabila suhu udara lingkungan relatif tinggi waktu perendaman 3-4 hari. Setelah perlakuan perendaman buah pada larutan kapur, bobot buah akan menyusut 15-25%. Tipe Astrinjen dapat diproses menjadi bentuk olahan kering atau diolah menjadi: sale/manisan; agar-agar; dan es krim.
Perbanyakan tanaman Kesemek tipe Astrinjen ini, dilakukan dengan menggunakan tunas akar yang keluar dari bagian bawah tanaman induknya. Cara petani di Kabupaten Garut dalam perbanyakan tanaman Kesemek ini, dilakukan dengan dua cara, yakni: Cara langsung, dilakukan dengan penanaman kembali tunas akar yang dipotong dari induknya sesegera mungkin setelah pemotongan. Sedangkan Cara Tidak Langsung, dilakukan dengan memindahkan terlebih dahulu tunas akar yang telah dipotong ke dalam kantong plastik berisi tanah –polybag, dan setelah bibit agak besar, baru ditanamkan.
Tanaman Kesemek berbuah dan dapat dipanen hanya sekali dalam setahun, yakni: pada umur 7-8 bulan sejak pembungaan dan pertunasan (pasca fase gugur daun). Panen buah pada tanaman Kesemek, dilakukan secara tradisional dengan cara memanjat pohon dan memetik buahnya. Buah yang dipanen adalah buah yang sudah cukup masak, dengan tingkat kemasakan 80 persen, yang dicirikan dengan warna buah telah berwarna kuning muda dan di sekitar pangkal buah berwarna kuning tua. Buah dipetik berikut tangkai buah dan seludangnya –calyx yang masih tetap melekat kuat pada pangkal buah.

Manfaat Buah Kesemek
Terdapat banyak zat kimia hebat dalam buah Kesemek, diantaranya: terdapat senyawa-senyawa antioksidan yang selain berkhasiat untuk mencegah kanker, juga dapat menghambat proses penuaan dini. Mengkonsumsi satu butir Kesemek tiap harinya juga sudah terbukti dapat membantu mencegah pengerasan pembuluh darah. Ini karena Kesemek mampu menjaga tekanan darah agar tidak melewati ambang batas normal. Dengan terpeliharanya kelenturan pembuluh darah dan stabilnya tekanan darah, secara tidak langsung kesehatan jantung manusia juga akan terpelihara. Buah Kesemek yang muda mengandung zat tanin –tanin-kaki, yang menimbulkan rasa sepat pada buah, zat ini akan berkurang bersama dengan masaknya buah. Tanin-kaki dimanfaatkan untuk mengawetkan berbagai kerajinan tangan, membantu produksi arak beras –di Jepang, serta bahan pengobatan penyakit hipertensi.
Adapaun beberapa khasiat dari buah Kesemek yang biasa dimanfaatkan masyarakat di wilayah sentra produksi Kesemek di Kabupaten Garut, adalah: (1) Daun: digunakan juga sebagai obat sakit perut (buang-buang air), penggunaannya dengan cara dikunyah beberapa saat dan kemudian ditelan; (2) Tangkai buah –Cupat: dipercaya dapat digunakan sebagai obat penurun panas dan meredakan demam, dengan cara: tangkai buah berikut seludangnya dipisahkan dari daging buah, lalu dikeringkan, setelah kering direndam dalam air panas, tunggu hingga air rendaman menjadi hangat dan diminumkan kepada penderita; dan (3) Daging buah: selain mengandung vitamin A, juga dapat dimanfaatkan untuk mengobati keracunan makanan, sebagai penetralisir racun dalam tubuh, dengan cara memakan daging buah yang telah masak di pohon.

Penutup
Produktivitas hasil buah Kesemek dan pendapatan petani pada sentra produksi di Kabupaten Garut, masih memiliki peluang untuk ditingkatkan melalui intensifikasi, seperti: pemeliharaan; pemupukan; proteksi tanaman; dan rehabilitasi pertanaman. Hal ini diperlukan, mengingat umur pertanaman yang rata-rata sudah relatif tua, sehingga perlu upaya rehabilitasi, serta mengingat replanting tanaman terutama pada lahan-lahan yang berada pada topografi lahan bergelombang, berbukit/berlereng, sampai bergunung. Usaha budidaya Kesemek di Kabupaten Garut sampai saat ini, masih dikelola secara tradisional pada skala kecil di lereng perbukitan dan pekarangan rumah. Budidaya tanaman Kesemek, masih dilakukan secara monokultur maupun tumpangsari dengan jenis tanaman sayuran lainnya. Penurunan populasi tanaman Kesemek terjadi akibat petani mengganti tanaman Kesemek dengan tanaman sayuran berumur agak panjang lainnya –kentang, kubis, dan buncis. Bahkan pada saat tanaman Kesemek memasuki fase gugur daun –sekitar akhir bulan Juli sampai dengan bulan September (selama 1-2 bulan), umumnya petani memanfaatkan lahan dibawahnya yang terbuka untuk ditanami oleh tanaman sayuran berumur pendek, seperti: selada dan jagung manis. Masalah yang dihadapi petani adalah kurangnya pengetahuan teknik budidaya dan pascapanen, sedangkan permasalahan yang dihadapi oleh pedagang dan pengrajin industri pengolahan adalah kebutuhan inovasi teknologi tentang alat dan teknik proses serta introduksi diversifikasi produk olahan buah kesemek.
Mengingat nilai gizi dan potensi ekonomi yang dimiliki buah Kesemek serta adanya ancaman kepunahan akibat konversi tanaman serta konversi penggunaan lahan, maka perlu adanya upaya serta langkah kongkrit yang didukung melalui kebijakan pemerintah dalam rangka melestarikan tanaman tersebut, khususnya di Kabupaten Garut. Dengan demikian, Kesemek sebagai salah satu aset sumber daya genetik setempat yang terancam kepunahan akibat terdesak oleh budidaya tanaman sayuran yang lebih bernilai ekonomis maupun terdesak oleh perubahan tata-guna lahan, dapat dihindari.


***

Minggu, 18 Januari 2015

Jelajah Priangan



Sebuah buku yang bertajuk, Java: The Garden of the East, pertama kali diterbitkan di Washington pada 1897, dicetak kembali oleh New York: University Press, 1984. Buku ini menceritakan perjalanan Eliza Ruhamah Scidmore tahun 1890-an dari Batavia ke Buitenzorg, naik kereta api dari Buitenzorg, melintasi Cianjur dan sempat singgah di Bandung dan Lembang. Kemudian dia ke Surakarta, Yogyakarta, kembali ke Priangan singgah di Garut dan mendaki Papandayan. Setelah singgah di Garut, Eliza pulang ke negaranya melalui Buitenzorg dan Batavia.
Java: The Garden of the East, karya: Eliza Ruhamah Scidmore.

Java: The Garden of the East
Eliza Ruhamah Scidmore
Eliza Ruhamah Scidmore, lahir 14 Oktober 1856 di Clinton, Iowa – Amerika Serikat. Ia seorang fotografer, juga sekaligus ahli geografi. Minatnya dalam menjelajah dibantu oleh kakaknya, George Hawthorne Scidmore, seorang diplomat karir yang bertugas di Timur Jauh dari tahun 1884 sampai 1922. Buku Java: The Garden of the East yang Eliza Ruhamah Scidmore tulis pada tahun 1897 ini, menceritakan perjalanan Eliza dari Batavia –Jakarta ke BuitenzorgBogor, menjelajah beberapa gunung seperti Gunung Salak, Gunung Gede, naik kereta api dari Bogor, melintasi Cianjur dan sempat singgah di Bandung untuk melihat Tangkubanparahu dan Lembang. Kemudian dia ke Surakarta, Yogyakarta, melihat Borobudur dan kembali ke Priangan singgah di Garut dan mendaki Gunung Papandayan. Perjalanan dilakukan pada sekitar tahun 1890-an, namun detail kapannya tidak diceritakan. Mengingat buku ini juga menyinggung Perang Aceh yang sedang berkecamuk, tanam paksa yang baru dihapuskan (1870), serta setelah Perang di Lombok antara Suku Sasak dan Suku Bali yang didintervensi Belanda (1894). Jadi, perjalanan Eliza boleh dibilang antara 1895-1897.
Hasil Jepretan Eliza
Dalam perjalanan melintasi Priangan, Eliza Ruhamah Scidmore menumpang kereta api dari Sukabumi ke Bandung –yang digambarkan jalurnya melengkung di sekitar bahu Gunung Salak. Perjalanan melalui kawasan perkebunan teh, kopi, dan perkebunan kina serta areal persawahan yang berada di lereng bukit seperti teras-teras, hingga kereta api yang ditumpangi Eliza singgah di Stasiun Cianjur. Dalam bukunya, Eliza juga menulis soal makan siang dalam kereta api ketika menuju Cianjur. Orang-orang Eropa bisa memilih menyantap nasi masak atau roti dengan keju dengan buah-buahan tropis seperti pisang, manggis. Harga makan siang sekitar satu setengah florin –gulden. Setelah berhenti sejenak, perjalanan dari stasiun ini menampilkan pemandangan yang lebih liar, seperti tidak ada hunian manusia. Eliza melihat bukit yang dipenuhi alang-alang, hutan bambu atau galagah di mana ternak tidak menyentuhnya. Pada masa itu masih terdapat banteng dan harimau yang berkeliaran, namun mereka melarikan diri ketika mendengar suara lokomotif. (Informasi dari Eliza ini menarik, karena itu artinya perjalanan Batavia ke Bandung pada awalnya tidak melalui Purwakarta-Cikampek, tetapi dari Timur, yang pada zaman merdeka sempat tidak operasi. Menurut sejarahnya, jalan kereta api Sukabumi-Bandung adalah bagian dari jalan kereta api Bogor-Sukabumi bahkan Batavia-Bogor yang pembangunannya lebih untuk kepentingan tanam paksa –mengangkut hasil perkebunan seperti teh, kopi dan kina daripada untuk kepentingan mobilitas penduduk. Seperti diketahui, pada tahun 1863, berdirilah perusahaan kereta api swasta Nederlandsch Indische Spoorwegmaatschappij (NIS). Melalui surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan surat keputusan Raja Belanda, maka pada 1869 dimulailah pembangunan jalur Batavia–Buitenzorg–Bandung oleh NIS –trek yang kini dilalui kereta api Jabodetabek. Pada 31 Januari 1873, jalur kereta api rute Batavia–Buitenzorg secara resmi beroperasi. Sejumlah surat kabar yang terbit di Batavia setelah 1870-an, seperti: Pemberita Betawi, kerap menyinggung kereta api ini. Misalnya, edisi 4 Januari 1888: “Bermoela dari 1 Djanoeari ini tahoen di post kereta api Gambir soedah ada buffet segala roepa minomen dapat dengan bajaran pantes”. Setelah NIS mengalami kesulitan keuangan, pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan perusahaan kereta api negara yaitu: Staats Spoorwegen (SS) pada 6 April 1875 untuk melanjutkan pembangunan jalur tersebut. Pada 21 Maret 1882, telah terhubung jalur kereta api rute Bogor–Sukabumi dan kemudian diikuti pada 16 Juni 1884 jalur kereta api rute Bogor–Sukabumi–Bandung  mulai beroperasi secara penuh yang ditandai dengan peresmian stasiun Bandung. Panjang jalur Jakarta–Bogor  adalah 54 km, panjang jalur Bogor–Sukabumi adalah 57 km dan panjang jalur Sukabumi–Bandung adalah 83 km).
Jepretan Eliza
Kembali ke buku Java: The Garden of the East, Eliza melukiskan dua tempat yang menarik sekitar Bandung –Eliza menulisnya Bandong adalah Tangkubanparahu dan Lembang, yang berjarak sepuluh mil dari Bandung. Dalam bukunya disebutkan, pendaki gunung meninggalkan kudanya atau kereta di Lembang. Perjalanan selanjutnya dilakukan dalam Djoelie –tandu dengan empat kuli penggotong melalui hutan yang lebat ke tepi kawah terbuka, dimana menggelegak kolam belerang dengan dasar abu-abu –tentunya Eliza juga mengetahui adanya vila milik Junghuhn yang meneliti soal kina.
Bandung adalah ibukota Keresidenan Priangan dan tempat tinggal bupati pribumi serta residen Belanda. Rumah bupati, katanya, terletak di tengah kota yang disebut dalem atau istana. Dia juga punya sebuah vila di pinggiran kota dengan arsitektur gaya Eropa. Dekat villa itu, terdapat kandang kuda. Bupati, diceritakannya, kerap memenangkan piala dalam beberapa kejuaraan di Bogor dan Bandung. (Bila dilihat dari sejarahnya, Bupati Bandung yang dimaksud oleh Eliza Ruhamah Scidmoore, tentunya adalah RAA. Martanegara yang memerintah pada 1893 hingga 1918).
Eliza melukiskan, para laki-laki ada yang mengenakan seperti pakaian jacket militer dipadu dengan kain sarung dengan keris di belakang punggungnya –kemungkinan para menak atau pamongpraja. Anak-anak pribumi, digendong ibunya dengan selendang. Eliza juga menyaksikan kerbau dan sapi berkubang sehabis membajak sawah dan kemudian diberi jerami, anak-anak laki kecil bertelanjang dada, kulitnya kecoklatan diterpa matahari sehingga mereka mirip seperti patung perunggu –sayang, Eliza tidak menceritakan detail suasana Kota Bandung, mungkin dia tidak berkeliling kota.
Eliza juga memberikan informasi yang didengarnya tentang piramid di Gunung Haruman, Garut, yang diyakini dari masa lalu –jadi sebetulnya heboh piramid di Garut saat ini juga sudah dibicarakan pada akhir abad 19, sayangnya Eliza lebih tertarik untuk melihat Borobudur dan Prambanan. Nama tempat seperti Rajamandala (Cianjur), Cijeruk, Cibeber, Ciranjang juga disinggung dalam buku ini.
Perempuan pembuat batik, jepretan Eliza.
Sebelum ke Jawa Tengah Eliza singgah disuatu kota yang ditulisnya dengan nama Tissak Malaya –nama yang disebutnya untuk Tasikmalaya. Kereta api dari Bandung melewati tempat yang disebutnya Tjihondje Cihonje dan Radjapolah, berhenti satu menit di Indihiang sebelum tiba di Tasikmalaya senja hari atau sekitar pukul enam –itu artinya stasiun Cihonje, Rajapolah, Hindihiang, sudah eksis setidaknya pada akhir abad ke-19.
Setibanya di Tasikmalaya, Eliza melukiskan perjalanan menuju tempat penginapan. Dia melalui jalan yang berputar melalui lapangan yang gelap menuju Pessangrahan –pesanggrahan merupakan tempat menginap atau peristirahatan yang dikelola pemerintah, biasanya para tuan tanah suka menginap di tempat ini. Transportasi utama, adalah sado. Penduduk bahkan supir sado sendiri, diceritakannya, suka berjongkok kalau ada bangsawan yang lewat. Bagi Eliza, situasi seperti itu membuat dia seperti merasa berada “di negeri yang aneh”.
Ketika memasuki pesanggrahan, ia melihat ada ruang terbuka yang besar di bawah serambiruang tamu, biasanya dilengkapi dengan meja besar dan lampu untuk membaca. Kursi-kursi, dengan sandaran panjang. Dari sana, ada lorong panjang menuju ruang perjamuan –ruang makan. Kamar tidur luasnya dua puluh meter persegi, tinggi dari lantai ke langit-langit kamar 20 kaki. Kamar, mempunyai tempat tidur berukuran 7 x 9 kaki.
Pagi hari ketika keluar dari passangrahan, Eliza melihat pasar setengah mingguan digelar di tempat terbuka depan Pesanggrahan. Yang dijual, antara lain: buah-buahan, bunga, sarung, surban, lada, selendang, dan kerajinan tangan. Bunga yang dijual, mulai dari melati hingga mawar. Eliza merogoh kocek tiga sen gulden untuk bunga melati dan mawar.
Komoditi lain yang dijual adalah botol buatan sendiri berisi air mawar dan melati, selendang dan saputangan dibordir dengan warna-warna kuat merupakan kerajinan tangan setempat. Yang menarik bagi Eliza, ia melihat parapenjahit yang berjumlah sekitar 30 hingga 40 orang, berbaris rapi di bawah naungan pohon kenari –sebagai orang Amerika, dia tahu di negerinya usaha menjahit sudah didukung mesin yang lebih kecil dan efesien. Namun penjahit di Tasikmalaya menurut Eliza –sambil mengungkapkan kekagumannya pada parapenjahit itu, yang matanya seperti burung hantu. Pelanggan membawa pakaian, penjahit menggunakan matanya dan mengukur, akhirnya melakukan pekerjaan sesuai kehendak pelanggannya.
Paviliun Hotel van Horck di Garut dalam sebuah postcard, 1900.
Sepulang dari Jawa Tengah, Eliza Ruhamah Scidmore mengunjungi Garut. Dalam bukunya dia menceritakan bahwa membutuhkan setengah jam perjalanan dari Cibatu –stasiun kereta api. Waktu dia tiba, bersamaan dengan hujan yang lebat, membuat dia kehilangan panorama pegunungan hijau yang indah mengelilingi Garut. Dia menceritakan melihat persawahan, anak laki-laki menggembala kawanan angsa dan ada anak laki-laki yang menaiki kerbau, serta terdapat burung-burung. Eliza menginap di Hotel Horck –Hotel Horck dimiliki oleh CH Van Horck, hotel yang menurutnya terbaik di tengah Kabupaten Priangan. Hotel ini mempunyai teras, menghadap pemandangan yang bagus. Tempat tidur dengan bunga, dipadu batu dan kerang. Dalam bukunya Eliza melihat hotel itu punya hiasan seperti patung Mozart, meja panjang tempat orang-orang bercakap-cakap. Sekalipun cukup dingin, wanita-wanita Belanda ini –parapegawai hotel memakai kain sarung yang dipadu dengan "dress". Kaki mereka kerap dibiarkan telanjang, mereka baik dan mampu berbicara bahasa Inggris.
Alun-alun kota, hijau asri, dimana terdapat rumah bupati pribumi –pada waktu itu diperintah Raden Adipati Aria Wiratanudatar VIII yang memerintah dari 1871 hingga 1915. Terdapat rumah warga Belanda, serta sebuah masjid. Mufti masjid sebelumnya sebetulnya seorang pria yang cerdas dan berpandangan bebas, dia hanya memiliki seorang istri. Dia mengizinkan istrinya –dengan wajah terbuka belajar Bahasa Belanda dan bertemu dengan tamu-tamu asingnya, baik laki-laki maupun perempuan. Para pelancong kerap membawa surat kepada mufti ini, dan mengutip perkataannya pada buku-bukunya. Namun sejak kematiannya, ulama yang lebih konservatif memerintah.
Para wisatawan masa itu menganggap, pesiar besar di kawasan Garut ialah mengunjungi Kawah Papandayan. Gunung yang dilukiskan dalam bukunya itu, memiliki panjang 15 mil dan lebar 6 mil, menjadi tujuan Eliza dan rombongannya –tidak dilukiskan dengan detail siapa saja yang ikut, gunung itu pernah meletus sekitar seratus tahun ketika penulis buku itu berkunjung. Pada waktu itu (akhir abad ke 19) Papandayan masih beruap, bergemuruh seperti petir dan setiap saat bisa meledak. Dalam bukunya, Eliza mendapatkan informasi bahwa Papandayan meletus pada 1772. Massa padat gunung itu terlontar keluar ke udara, aliran lava tercurah, abu tumpah menutupi area seluas 7 mil persegi dan sekitar dengan lapisan lima kaki tebalnya. Letusan menghancurkan empat puluh desa, dan menewaskan tiga ribu jiwa dalam satu hari. Wisatawan bisa melihat bekas letusan di dekat gunung dan uap panas kerap ke luar. Eliza menceritakan dalam bukunya:
“Kami memulai perjalanan pada suatu pagi di bawah hujan dan melaju dua belas mil di dataran yang keras, jalan berpasir putih, terus perbatasan putih dengan naungan pohon. Kami melewati desa-desa yang basah dan tampak muram. Kami melalui dangau-dangau yang berada diantara sawah dimana anak laki-laki dengan katapel mengusir gagak yang menganggu sawah. Pemandangan ini mirip yang kami lihat di Hizen, Jepang” (halaman 314).
Djoelie atau Djoelis, tandu transportasi.
Di Cisurupan, masing-masing rombongan diangkut dengan kursi yang ditandu empat kuli yang disebut Julis (Djoelis) –seperti yang dilihatnya di Lembang serupa dengan transportasi tandu di Cina Selatan. Rombongan melihat tanaman kopi di dasar gunung, kemudian melewati perubahan tanaman tropis ke tanaman sedang, pohon-pohon kopi yang tua terbengkalai. Bagian atas Papandayan masa itu, digambarkannya, ada bagian yang berhutan lebat mirip hutan purba dengan pohon-pohon yang merambat. Di antara tanaman yang ditemukan terdapat tanaman, seperti: rotan dan anggrek dengan daun-daun hijau menyejukkan mata.
Para wisatawan ini, bertemu rombongan kuli yang membawa batu belerang –Eliza menyebutnya balerang berwarna kuning di keranjang pada punggungnya. Dari ketinggian, rombongan melihat pemandangan dataran Garut yang hijau. Bagian atas gunung, ada jaringan jalan putih. Rombongan, melewati sisi lain dari gunung yang solid yang dibuat oleh bekas letusan.
Kami melintasi daerah berbatuan dan melihat kolam balerang yang menggelegak seluas 5 acre. Penampilannya mirip kolam emas yang mendidih. Ada kekhawatiran kalau sewaktu-waktu kolam itu meledak dan menembak ke udara. Suara bergemuruh di bawah tanah terasa aneh, seperti suara rantai besi, seperti orang yang bekerja di bengkel. Mungkin ini yang menyebabkan gunung ini dinamakan Papandayan. Kuli-kuli yang membawa balerang berjalan hati-hati diantara kolam-kolam balerang. Sepatu kami saja tidak tahan terhadap uap panas. Belum lagi resiko gas-gas beracun seperti gas karbon dan hydrogen sulfur adalah ancaman maut. (halaman 319).
Orang dapat melihat Laut Jawa dan Samudera Hindia dari puncak Papandayan yang berada sekitar 7000 kaki dari permukaan laut, walaupun langit berawan. Kuli-kuli yang membawa Djoelis tidak menemukan jalan di tepi kawah untuk bisa membawa rombongan (resikonya bisa terguling karena kemiringannya). Mau tidak mau mereka harus turun berjalan kaki melewati semak-semak dan rumpun bambu, pelayan mereka berjalan mendahului.
Parakuli Djoelis ini diceritakan sebagai orang-orang yang malas, miskin, kerap ditipu pemilik lounge, karena mereka sulit menyediakan kuda yang bisa dibawa mendaki gunung. Kuli-kuli terlihat murung, berjalan tanpa alas kaki dan enggan kalau harus melewati semak-semak berduri. Beberapa kali kuli-kuli ini mengeluh, namun Eliza dan rombongan bersikeras ingin melihat Laut Hindia dari atas. Setelah melewati hutan bambu dan semak-semak, mereka tiba di daerah berbatuan. Mereka melihat pemandangan berawan, biru bercampur kelabu (musim hujan).
Kami kembali melihat pemandangan mosaic sawah dan dataran Garut yang kering serta kaki gunung, serta batas Laut Hindia berwarna keperakan. Kami melihat tanaman yang sudah dibudidayakan seperti teh, disusul kopi diketinggian di atasnya dan batas tanaman kina. (halaman 320).
Eliza teringat imajinasi dari ahli bedah dari VOC di Semarang pada 1773 bernama dr. Foersch, yang memberikan cerita perjalanan menakutkan melintasi lembah maut di dataran Dieng.
Rombongan turun dan beristirahat di bangunan tempat paratamu dan batu-batu balerang diletakkan. Para kuli membawa kami turun melalui jalur lain melintasi berbagai tanaman, diantara tanaman kopi yang tidak setiap waktu ada. Eliza tiba di Desa Cisurupan dan mendapat sambutan dari kepala desa. Para tamu, diberikan suguhan pertunjukan gamelan dengan berbagai lagu. Menurut cerita Eliza, dia dan rombongannya tiba di Garut sore hari dan terlambat untuk mandi. Dalam bukunya, ia menulis: terang bulan yang menyelimuti teras, memberikan ingatan indah tentang jalan-jalan dengan pohon rindang di Garut, serta patung Mozart seperti memandanginya. Setelah singgah di Garut, Eliza pulang ke negaranya melalui Buitenzorg dan kemudian lanjut ke Batavia.


***

Selasa, 13 Januari 2015

Bioskop Kaleng Biskuit



Gedong Bioskop Majestic anu perenahna di Jalan Braga Bandung, katelahna: Blikken Trammel Bioscoop, hartina: Bioskop Kaléng Timah atawa Bioskop Kaléng Biskuit, kulantaran ciri has wangunanna anu siga kaléng biskuit. Majestic jeung Elita téh jadi saksi bisu minangka bioskop anu midangkeun pilem munggaran karya pribumi di ahir taun 1926, nya éta: pilem Loetoeng Kasaroeng. Pilem Loetoeng Kasaroeng, teu leupas ti yasana RAA. Wiranatakoesoemah V (Dalem Haji). Munasabah atuh upami anjeunna téh, jadi: Perintis Film Cerita Pertama Indonesia. Kaping 30 Maret 1950, H. Usmar Ismail ngadegkeun NV Perfini. Ti mimiti pausahaan pilem; waragad produksi pilem; nepi ka anu ngagarap pilem, kabéh ogé urang pribumi. Antukna, Présidén BJ. Habibie, ngaluarkeun SK Présidén Nomer 25 tanggal 29 Maret 1999, anu netepkeun tanggal 30 Maret, jadi: Hari Film Nasional.
Bioskop Kaleng Timah - Kaleng Biskuit

Concordia Bioscoop
Kawasan Braga anu jadi puseur pertokoan élit Éropa mangsa taun 1920-an, beuki tambah dipasieup deui ku ngadegna Concordia Bioscoop –Bioskop Majestic taun 1925. Harita, bioskop téh jadi tempat hiburan anu populér di kalangan menéér-menéér Walanda. Ieu bioskop meunang yasana arsiték CP. Wolff Schoemaker –ti biro arsiték Technisch Bureau Soenda, ngagunakeun gaya Indo Europeeschen Architectuur Stijl –gaya anu ngadumaniskeun élémén-élémén arsitéktur tradisional jeung téhnik konstruksi modern. Katémbong dina seni ukiran katut ornamén barong, anu aya di hareup. Bentuk wangunan diwengku ku garis-garis vértikal tur horizontal anu sarérétan mah, bentukna téh bet siga kaléng biskuit.
Mangsa harita, pilem anu dipidangkeun téh mangrupa pilem-pilem pégo –film bisu. Promosi pilem dilakonan ku cara tumpak délman, mapay-mapay sabudeureun kota –bari mamawa poster pilem jeung ngabagikeun pamflet. Anu arék lalajo, kudu maké pakéan rapih. Tempat diukna ogé diatur, lalaki jeung awéwé dipisah dina jajaran nu béda. Pihak bioskop sok midangkeun orkés mini katut komentator, keur marengan pilem-pilem pégo jeung pireu mangsa harita. Pilem anu ngageunjleungkeun “Loetoeng Kasaroeng”, diputer munggaran di Concordia Bioscoop –Bragaweg jeung Elita Bioscoop –Alun-alun Bandung, saminggu campleng –ti 31 Désémber 1926 tepi ka 6 Januari 1927. Anu nongton, teu weléh ngantri.
Ngaran bioskop, geus sababaraha kali ganti. Munggaran mah: Concordia Bioscoop, tuluy: Oriéntal Bioscoop; Bioskop Déwi; jeung Bioskop Majestic. Ieu bioskop ngalaman kajayaan tepi ka mangsa kamerdékaan, mingkin ngetop dina taun 1970-an –luyu jeung mekarna dunya pilem Indonesia. Ngan dina taun 1980-an, dangiang Majestic beuki nyirorot –alatan ngadegna sinepleks atawa bioskop modern. Taun 2002, Majestic dirévitalisasi jadi gedong pertemuan –ngaranna robah, jadi: Asia Afrika Cultural Centre. Ahirna, ti taun 2010, ngaranna jadi: New Majestic tur dikokolakeun ku Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat.
Elita Bioscoop di Alun-alun Bandung.
Pamflet Pilem Loetoeng Kasaroeng
Lutung Kasarung

Loetoeng Kasaroeng, Pilem Munggaran Indonesia
G. Krugers, 1928.
Bandung, boga peran anu kacida pentingna dina “marajian” jeung mekarkeun pilem Indonesia. Pilem carita di Indonesia téh, medal munggaran di Bandung taun 1926. Carita anu diangkatna ogé dumasar kana carita rayat Sunda: Loetoeng Kasaroeng –Lutung Kasarung, The Mystical Monkey. Parapamaénna, urang pribumi. Diproduksina di Bandung ku Java Film Company –pingpinan G. Krugers jeung L. Heuveldorf. Disutradaraan ku urang Walanda: G. Krugers jeung L. Heuveldorf. Anu ngawaragadan –ogé kapeto jadi sinématograf jeung éditorna: RAA. Wiranatakoesoemah V. Sanggeus milemkeun Loetoeng Kasaroeng, tuluy dina taun 1927 JFC ogé ngangkat novel Sunda “Eulis Atjih” –yasana Joehana jadi pilem. Laju taun 1930, sanggeus G. Krugers ngadegkeun pilem sorangan –anu dingaranan: Krugers Filmbedriff, inyana ogé milemkeun novel Sunda yasana Joehana jeung Soekria, nya éta: Karnadi Anemer Bangkong –Karnadi the Frog Contractor. Laju, dina taun 1932, milemkeun: Njai Dasima. G. Krugers téh Indo-Walanda asal Bandung anu jadi adi mantuna “raja bioskop Bandung” Buse. Sedengkeun L. Heuveldorf, saméméhna geus pangalaman dina widang penyutradaraan di Amérika.
Anu mokalan pikeun ngagarap Loetoeng Kasaroeng, taya lian ti Bupati Bandung mangsa harita, nya éta: RAA. Wiranatakoesoemah V –anu katelah: Dalem Haji. Ti keur jeneng kénéh jadi bupati di Cianjur –taun 1912 dugi 1920, anjeunna mikalandep tur mikareureus kana seni budaya Sunda –utamana: tembang Sunda Cianjuran. Atuh basa dileler jadi dalem di Bandung, Cianjuran téh diwariskeun ka urang Bandung. Kitu deui kana kasenian Sunda lianna, ku Dalem Haji dijeujeuhkeun pisan. Lain ngan sakadar dina widang kasenian wungkul, dalah dina pamaréntahan ogé peran Dalem Haji téh diaku nepi ka tingkat nasional –hanjakal, lantaran patula-patalina jeung ngadegna Nagara Pasundan mangsa harita, jenengan RAA. Wiranatakoesoemah V, jadi kalimpudan ku ‘halimun’ sajarah, anu tacan pati jéntré. Saméméh diangkat jadi pilem, taun 1921, Dalem Haji magelarkeun drama modern Sunda dina lalakon: Toonel Loetoeng Kasaroeng. Drama anu di sutradaraan ku RTA Soenarja téh –dipagelarkeun dina Kongres Java Instituut, digarap kalayan kolosal dina panggung raksasa hareupeun pendopo kabupatén tur dilalajoan ku rébuan jalma. Teu saukur kitu, waktu Krugers jeung Heuveldorf boga rarancang rék ngagarap pilem Loetoeng Kasaroeng, Dalem Haji sadia pikeun ngawaragadanna. Sakabéh pamaénna, warga pribumi –parapriyayi, utamana dulur-dulur jeung paraputra Dalem Haji ku anjeun. Anu dipercaya pikeun milih pamaén jeung ngalatih gerak katut aktingna, nya éta: Radén Kartabrata –guru kapala. Ketak RAA. Wiranatakoesoemah V –Dalem Haji kawas kitu, jadi kareueus balaréa. Munasabah atuh upami anjeunna téh, jadi: Perintis Film Cerita Pertama Indonesia.
Loetoeng Kasaroeng téh mangrupa carita pantun Sunda anu kacida populérna –malah ku sawatara pihak mah dianggap sakral, lain ngan sakadar carita biasa. Ieu carita ngalalakonkeun Guruminda –urang Kahiyangan anu salin rupa jadi Lutung, turun ka bumi pikeun néangan pipamajikaneun. Tuluy ngajodo jeung Purbasari, wanoja urang Pasirbatang anu keur nandangan tunggara lantaran dikaniaya ku lanceuk-lanceukna. Carita pantun Sunda Loetoeng Kasaroeng dina abad ka-19 kungsi dicatet ku Argasasmita –Mantri Kundang Kopi Kawunglarang, anu saterusna dipublikasikeun ku CM. Pleijte dina VBG LVIII taun 1910.
Koran De Locomotief, pedalan Agustus 1926, ngungkabkeun: “Pemain-pemain pribumi dipilih dengan seksama dari golongan priayi yang berpendidikan. Pengambilan film dilakukan disuatu tempat yang dipilih dengan cermat, kira-kira dua kilometer sebelah Barat Kota Padalarang”. Kitu deui dina édisi Séptémber 1926, nulis: “Inilah film yang merupakan tonggak pertama dalam industri sinema Hindia sendiri, patut disambut dengan penuh perhatian”.
H. Usmar Ismail syuting "Moch. Toha Pahlawan Bandung Selatan", di Stasion KA Garut - th 1962.
Kaping 30 Maret 1950, H. Usmar Ismail ngadegkeun NV Perfini –Perusahaan Film Nasional Indonesia. Tujuanna: hayang nembongkeun kamampuh pribumi dina ngagarap produksi pilem. Ti mimiti pausahaan pilem; waragad produksi pilem; nepi ka anu ngagarap pilem, kabéh ogé urang pribumi. Saméméhna mah, produksi pilem téh apanan dikawasa ku urang Walanda jeung Cina. Pilem munggaran Perfini: Darah dan Do’a –The Long March of Siliwangi. Sutradarana: Usmar Ismail, anu nulis skénariona: penyair Sitor Situmorang, ari pamaén utamana: Del Yuzar. Pilem Darah dan Do’a, nyaritakeun hijrahna Pasukan Siliwangi ti Jawa Barat ka Jogja, sarta mulang deui ti Jogja ka Jawa Barat. Séting utamana, nyaritakeun mangsa Pasukan Siliwangi mulang deui ka Jawa Barat. Sababaraha kali tokoh pilem ngusulkeun, malar tanggal 30 Maret dijadikeun Hari Film Nasional. Karék laksana jaman Présidén BJ. Habibie, anu ngaluarkeun SK Présidén No.25 tanggal 29 Maret 1999, anu netepkeun tanggal 30 Maret, jadi: Hari Film Nasional.
Aktor Garut Arman Effendi di lokasi syuting, Garut.


***