Minggu, 18 Januari 2015

Jelajah Priangan



Sebuah buku yang bertajuk, Java: The Garden of the East, pertama kali diterbitkan di Washington pada 1897, dicetak kembali oleh New York: University Press, 1984. Buku ini menceritakan perjalanan Eliza Ruhamah Scidmore tahun 1890-an dari Batavia ke Buitenzorg, naik kereta api dari Buitenzorg, melintasi Cianjur dan sempat singgah di Bandung dan Lembang. Kemudian dia ke Surakarta, Yogyakarta, kembali ke Priangan singgah di Garut dan mendaki Papandayan. Setelah singgah di Garut, Eliza pulang ke negaranya melalui Buitenzorg dan Batavia.
Java: The Garden of the East, karya: Eliza Ruhamah Scidmore.

Java: The Garden of the East
Eliza Ruhamah Scidmore
Eliza Ruhamah Scidmore, lahir 14 Oktober 1856 di Clinton, Iowa – Amerika Serikat. Ia seorang fotografer, juga sekaligus ahli geografi. Minatnya dalam menjelajah dibantu oleh kakaknya, George Hawthorne Scidmore, seorang diplomat karir yang bertugas di Timur Jauh dari tahun 1884 sampai 1922. Buku Java: The Garden of the East yang Eliza Ruhamah Scidmore tulis pada tahun 1897 ini, menceritakan perjalanan Eliza dari Batavia –Jakarta ke BuitenzorgBogor, menjelajah beberapa gunung seperti Gunung Salak, Gunung Gede, naik kereta api dari Bogor, melintasi Cianjur dan sempat singgah di Bandung untuk melihat Tangkubanparahu dan Lembang. Kemudian dia ke Surakarta, Yogyakarta, melihat Borobudur dan kembali ke Priangan singgah di Garut dan mendaki Gunung Papandayan. Perjalanan dilakukan pada sekitar tahun 1890-an, namun detail kapannya tidak diceritakan. Mengingat buku ini juga menyinggung Perang Aceh yang sedang berkecamuk, tanam paksa yang baru dihapuskan (1870), serta setelah Perang di Lombok antara Suku Sasak dan Suku Bali yang didintervensi Belanda (1894). Jadi, perjalanan Eliza boleh dibilang antara 1895-1897.
Hasil Jepretan Eliza
Dalam perjalanan melintasi Priangan, Eliza Ruhamah Scidmore menumpang kereta api dari Sukabumi ke Bandung –yang digambarkan jalurnya melengkung di sekitar bahu Gunung Salak. Perjalanan melalui kawasan perkebunan teh, kopi, dan perkebunan kina serta areal persawahan yang berada di lereng bukit seperti teras-teras, hingga kereta api yang ditumpangi Eliza singgah di Stasiun Cianjur. Dalam bukunya, Eliza juga menulis soal makan siang dalam kereta api ketika menuju Cianjur. Orang-orang Eropa bisa memilih menyantap nasi masak atau roti dengan keju dengan buah-buahan tropis seperti pisang, manggis. Harga makan siang sekitar satu setengah florin –gulden. Setelah berhenti sejenak, perjalanan dari stasiun ini menampilkan pemandangan yang lebih liar, seperti tidak ada hunian manusia. Eliza melihat bukit yang dipenuhi alang-alang, hutan bambu atau galagah di mana ternak tidak menyentuhnya. Pada masa itu masih terdapat banteng dan harimau yang berkeliaran, namun mereka melarikan diri ketika mendengar suara lokomotif. (Informasi dari Eliza ini menarik, karena itu artinya perjalanan Batavia ke Bandung pada awalnya tidak melalui Purwakarta-Cikampek, tetapi dari Timur, yang pada zaman merdeka sempat tidak operasi. Menurut sejarahnya, jalan kereta api Sukabumi-Bandung adalah bagian dari jalan kereta api Bogor-Sukabumi bahkan Batavia-Bogor yang pembangunannya lebih untuk kepentingan tanam paksa –mengangkut hasil perkebunan seperti teh, kopi dan kina daripada untuk kepentingan mobilitas penduduk. Seperti diketahui, pada tahun 1863, berdirilah perusahaan kereta api swasta Nederlandsch Indische Spoorwegmaatschappij (NIS). Melalui surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan surat keputusan Raja Belanda, maka pada 1869 dimulailah pembangunan jalur Batavia–Buitenzorg–Bandung oleh NIS –trek yang kini dilalui kereta api Jabodetabek. Pada 31 Januari 1873, jalur kereta api rute Batavia–Buitenzorg secara resmi beroperasi. Sejumlah surat kabar yang terbit di Batavia setelah 1870-an, seperti: Pemberita Betawi, kerap menyinggung kereta api ini. Misalnya, edisi 4 Januari 1888: “Bermoela dari 1 Djanoeari ini tahoen di post kereta api Gambir soedah ada buffet segala roepa minomen dapat dengan bajaran pantes”. Setelah NIS mengalami kesulitan keuangan, pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan perusahaan kereta api negara yaitu: Staats Spoorwegen (SS) pada 6 April 1875 untuk melanjutkan pembangunan jalur tersebut. Pada 21 Maret 1882, telah terhubung jalur kereta api rute Bogor–Sukabumi dan kemudian diikuti pada 16 Juni 1884 jalur kereta api rute Bogor–Sukabumi–Bandung  mulai beroperasi secara penuh yang ditandai dengan peresmian stasiun Bandung. Panjang jalur Jakarta–Bogor  adalah 54 km, panjang jalur Bogor–Sukabumi adalah 57 km dan panjang jalur Sukabumi–Bandung adalah 83 km).
Jepretan Eliza
Kembali ke buku Java: The Garden of the East, Eliza melukiskan dua tempat yang menarik sekitar Bandung –Eliza menulisnya Bandong adalah Tangkubanparahu dan Lembang, yang berjarak sepuluh mil dari Bandung. Dalam bukunya disebutkan, pendaki gunung meninggalkan kudanya atau kereta di Lembang. Perjalanan selanjutnya dilakukan dalam Djoelie –tandu dengan empat kuli penggotong melalui hutan yang lebat ke tepi kawah terbuka, dimana menggelegak kolam belerang dengan dasar abu-abu –tentunya Eliza juga mengetahui adanya vila milik Junghuhn yang meneliti soal kina.
Bandung adalah ibukota Keresidenan Priangan dan tempat tinggal bupati pribumi serta residen Belanda. Rumah bupati, katanya, terletak di tengah kota yang disebut dalem atau istana. Dia juga punya sebuah vila di pinggiran kota dengan arsitektur gaya Eropa. Dekat villa itu, terdapat kandang kuda. Bupati, diceritakannya, kerap memenangkan piala dalam beberapa kejuaraan di Bogor dan Bandung. (Bila dilihat dari sejarahnya, Bupati Bandung yang dimaksud oleh Eliza Ruhamah Scidmoore, tentunya adalah RAA. Martanegara yang memerintah pada 1893 hingga 1918).
Eliza melukiskan, para laki-laki ada yang mengenakan seperti pakaian jacket militer dipadu dengan kain sarung dengan keris di belakang punggungnya –kemungkinan para menak atau pamongpraja. Anak-anak pribumi, digendong ibunya dengan selendang. Eliza juga menyaksikan kerbau dan sapi berkubang sehabis membajak sawah dan kemudian diberi jerami, anak-anak laki kecil bertelanjang dada, kulitnya kecoklatan diterpa matahari sehingga mereka mirip seperti patung perunggu –sayang, Eliza tidak menceritakan detail suasana Kota Bandung, mungkin dia tidak berkeliling kota.
Eliza juga memberikan informasi yang didengarnya tentang piramid di Gunung Haruman, Garut, yang diyakini dari masa lalu –jadi sebetulnya heboh piramid di Garut saat ini juga sudah dibicarakan pada akhir abad 19, sayangnya Eliza lebih tertarik untuk melihat Borobudur dan Prambanan. Nama tempat seperti Rajamandala (Cianjur), Cijeruk, Cibeber, Ciranjang juga disinggung dalam buku ini.
Perempuan pembuat batik, jepretan Eliza.
Sebelum ke Jawa Tengah Eliza singgah disuatu kota yang ditulisnya dengan nama Tissak Malaya –nama yang disebutnya untuk Tasikmalaya. Kereta api dari Bandung melewati tempat yang disebutnya Tjihondje Cihonje dan Radjapolah, berhenti satu menit di Indihiang sebelum tiba di Tasikmalaya senja hari atau sekitar pukul enam –itu artinya stasiun Cihonje, Rajapolah, Hindihiang, sudah eksis setidaknya pada akhir abad ke-19.
Setibanya di Tasikmalaya, Eliza melukiskan perjalanan menuju tempat penginapan. Dia melalui jalan yang berputar melalui lapangan yang gelap menuju Pessangrahan –pesanggrahan merupakan tempat menginap atau peristirahatan yang dikelola pemerintah, biasanya para tuan tanah suka menginap di tempat ini. Transportasi utama, adalah sado. Penduduk bahkan supir sado sendiri, diceritakannya, suka berjongkok kalau ada bangsawan yang lewat. Bagi Eliza, situasi seperti itu membuat dia seperti merasa berada “di negeri yang aneh”.
Ketika memasuki pesanggrahan, ia melihat ada ruang terbuka yang besar di bawah serambiruang tamu, biasanya dilengkapi dengan meja besar dan lampu untuk membaca. Kursi-kursi, dengan sandaran panjang. Dari sana, ada lorong panjang menuju ruang perjamuan –ruang makan. Kamar tidur luasnya dua puluh meter persegi, tinggi dari lantai ke langit-langit kamar 20 kaki. Kamar, mempunyai tempat tidur berukuran 7 x 9 kaki.
Pagi hari ketika keluar dari passangrahan, Eliza melihat pasar setengah mingguan digelar di tempat terbuka depan Pesanggrahan. Yang dijual, antara lain: buah-buahan, bunga, sarung, surban, lada, selendang, dan kerajinan tangan. Bunga yang dijual, mulai dari melati hingga mawar. Eliza merogoh kocek tiga sen gulden untuk bunga melati dan mawar.
Komoditi lain yang dijual adalah botol buatan sendiri berisi air mawar dan melati, selendang dan saputangan dibordir dengan warna-warna kuat merupakan kerajinan tangan setempat. Yang menarik bagi Eliza, ia melihat parapenjahit yang berjumlah sekitar 30 hingga 40 orang, berbaris rapi di bawah naungan pohon kenari –sebagai orang Amerika, dia tahu di negerinya usaha menjahit sudah didukung mesin yang lebih kecil dan efesien. Namun penjahit di Tasikmalaya menurut Eliza –sambil mengungkapkan kekagumannya pada parapenjahit itu, yang matanya seperti burung hantu. Pelanggan membawa pakaian, penjahit menggunakan matanya dan mengukur, akhirnya melakukan pekerjaan sesuai kehendak pelanggannya.
Paviliun Hotel van Horck di Garut dalam sebuah postcard, 1900.
Sepulang dari Jawa Tengah, Eliza Ruhamah Scidmore mengunjungi Garut. Dalam bukunya dia menceritakan bahwa membutuhkan setengah jam perjalanan dari Cibatu –stasiun kereta api. Waktu dia tiba, bersamaan dengan hujan yang lebat, membuat dia kehilangan panorama pegunungan hijau yang indah mengelilingi Garut. Dia menceritakan melihat persawahan, anak laki-laki menggembala kawanan angsa dan ada anak laki-laki yang menaiki kerbau, serta terdapat burung-burung. Eliza menginap di Hotel Horck –Hotel Horck dimiliki oleh CH Van Horck, hotel yang menurutnya terbaik di tengah Kabupaten Priangan. Hotel ini mempunyai teras, menghadap pemandangan yang bagus. Tempat tidur dengan bunga, dipadu batu dan kerang. Dalam bukunya Eliza melihat hotel itu punya hiasan seperti patung Mozart, meja panjang tempat orang-orang bercakap-cakap. Sekalipun cukup dingin, wanita-wanita Belanda ini –parapegawai hotel memakai kain sarung yang dipadu dengan "dress". Kaki mereka kerap dibiarkan telanjang, mereka baik dan mampu berbicara bahasa Inggris.
Alun-alun kota, hijau asri, dimana terdapat rumah bupati pribumi –pada waktu itu diperintah Raden Adipati Aria Wiratanudatar VIII yang memerintah dari 1871 hingga 1915. Terdapat rumah warga Belanda, serta sebuah masjid. Mufti masjid sebelumnya sebetulnya seorang pria yang cerdas dan berpandangan bebas, dia hanya memiliki seorang istri. Dia mengizinkan istrinya –dengan wajah terbuka belajar Bahasa Belanda dan bertemu dengan tamu-tamu asingnya, baik laki-laki maupun perempuan. Para pelancong kerap membawa surat kepada mufti ini, dan mengutip perkataannya pada buku-bukunya. Namun sejak kematiannya, ulama yang lebih konservatif memerintah.
Para wisatawan masa itu menganggap, pesiar besar di kawasan Garut ialah mengunjungi Kawah Papandayan. Gunung yang dilukiskan dalam bukunya itu, memiliki panjang 15 mil dan lebar 6 mil, menjadi tujuan Eliza dan rombongannya –tidak dilukiskan dengan detail siapa saja yang ikut, gunung itu pernah meletus sekitar seratus tahun ketika penulis buku itu berkunjung. Pada waktu itu (akhir abad ke 19) Papandayan masih beruap, bergemuruh seperti petir dan setiap saat bisa meledak. Dalam bukunya, Eliza mendapatkan informasi bahwa Papandayan meletus pada 1772. Massa padat gunung itu terlontar keluar ke udara, aliran lava tercurah, abu tumpah menutupi area seluas 7 mil persegi dan sekitar dengan lapisan lima kaki tebalnya. Letusan menghancurkan empat puluh desa, dan menewaskan tiga ribu jiwa dalam satu hari. Wisatawan bisa melihat bekas letusan di dekat gunung dan uap panas kerap ke luar. Eliza menceritakan dalam bukunya:
“Kami memulai perjalanan pada suatu pagi di bawah hujan dan melaju dua belas mil di dataran yang keras, jalan berpasir putih, terus perbatasan putih dengan naungan pohon. Kami melewati desa-desa yang basah dan tampak muram. Kami melalui dangau-dangau yang berada diantara sawah dimana anak laki-laki dengan katapel mengusir gagak yang menganggu sawah. Pemandangan ini mirip yang kami lihat di Hizen, Jepang” (halaman 314).
Djoelie atau Djoelis, tandu transportasi.
Di Cisurupan, masing-masing rombongan diangkut dengan kursi yang ditandu empat kuli yang disebut Julis (Djoelis) –seperti yang dilihatnya di Lembang serupa dengan transportasi tandu di Cina Selatan. Rombongan melihat tanaman kopi di dasar gunung, kemudian melewati perubahan tanaman tropis ke tanaman sedang, pohon-pohon kopi yang tua terbengkalai. Bagian atas Papandayan masa itu, digambarkannya, ada bagian yang berhutan lebat mirip hutan purba dengan pohon-pohon yang merambat. Di antara tanaman yang ditemukan terdapat tanaman, seperti: rotan dan anggrek dengan daun-daun hijau menyejukkan mata.
Para wisatawan ini, bertemu rombongan kuli yang membawa batu belerang –Eliza menyebutnya balerang berwarna kuning di keranjang pada punggungnya. Dari ketinggian, rombongan melihat pemandangan dataran Garut yang hijau. Bagian atas gunung, ada jaringan jalan putih. Rombongan, melewati sisi lain dari gunung yang solid yang dibuat oleh bekas letusan.
Kami melintasi daerah berbatuan dan melihat kolam balerang yang menggelegak seluas 5 acre. Penampilannya mirip kolam emas yang mendidih. Ada kekhawatiran kalau sewaktu-waktu kolam itu meledak dan menembak ke udara. Suara bergemuruh di bawah tanah terasa aneh, seperti suara rantai besi, seperti orang yang bekerja di bengkel. Mungkin ini yang menyebabkan gunung ini dinamakan Papandayan. Kuli-kuli yang membawa balerang berjalan hati-hati diantara kolam-kolam balerang. Sepatu kami saja tidak tahan terhadap uap panas. Belum lagi resiko gas-gas beracun seperti gas karbon dan hydrogen sulfur adalah ancaman maut. (halaman 319).
Orang dapat melihat Laut Jawa dan Samudera Hindia dari puncak Papandayan yang berada sekitar 7000 kaki dari permukaan laut, walaupun langit berawan. Kuli-kuli yang membawa Djoelis tidak menemukan jalan di tepi kawah untuk bisa membawa rombongan (resikonya bisa terguling karena kemiringannya). Mau tidak mau mereka harus turun berjalan kaki melewati semak-semak dan rumpun bambu, pelayan mereka berjalan mendahului.
Parakuli Djoelis ini diceritakan sebagai orang-orang yang malas, miskin, kerap ditipu pemilik lounge, karena mereka sulit menyediakan kuda yang bisa dibawa mendaki gunung. Kuli-kuli terlihat murung, berjalan tanpa alas kaki dan enggan kalau harus melewati semak-semak berduri. Beberapa kali kuli-kuli ini mengeluh, namun Eliza dan rombongan bersikeras ingin melihat Laut Hindia dari atas. Setelah melewati hutan bambu dan semak-semak, mereka tiba di daerah berbatuan. Mereka melihat pemandangan berawan, biru bercampur kelabu (musim hujan).
Kami kembali melihat pemandangan mosaic sawah dan dataran Garut yang kering serta kaki gunung, serta batas Laut Hindia berwarna keperakan. Kami melihat tanaman yang sudah dibudidayakan seperti teh, disusul kopi diketinggian di atasnya dan batas tanaman kina. (halaman 320).
Eliza teringat imajinasi dari ahli bedah dari VOC di Semarang pada 1773 bernama dr. Foersch, yang memberikan cerita perjalanan menakutkan melintasi lembah maut di dataran Dieng.
Rombongan turun dan beristirahat di bangunan tempat paratamu dan batu-batu balerang diletakkan. Para kuli membawa kami turun melalui jalur lain melintasi berbagai tanaman, diantara tanaman kopi yang tidak setiap waktu ada. Eliza tiba di Desa Cisurupan dan mendapat sambutan dari kepala desa. Para tamu, diberikan suguhan pertunjukan gamelan dengan berbagai lagu. Menurut cerita Eliza, dia dan rombongannya tiba di Garut sore hari dan terlambat untuk mandi. Dalam bukunya, ia menulis: terang bulan yang menyelimuti teras, memberikan ingatan indah tentang jalan-jalan dengan pohon rindang di Garut, serta patung Mozart seperti memandanginya. Setelah singgah di Garut, Eliza pulang ke negaranya melalui Buitenzorg dan kemudian lanjut ke Batavia.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar